Namaku Wanda, perempuan sok tangguh dan selalu merawat gengsi. Hingga lupa bahwa hatiku tetap saja tidak tercipta dari batu.
Aku masih harus tetap terjaga meskipun sudah sangat lelah. Mataku yang sudah teramat berat ini masih harus tetap fokus memperhatikan tulisan yang harus aku koreksi. Akhir-akhir ini sepertinya aku memang mencoba tidak peduli pada apa pun dan menguras begitu banyak tenaga, sehingga lupa akan kesehatan yang lebih penting; pusing akibat flu menambah lemah kondisiku.
Aku masih harus tetap terjaga meskipun sudah sangat lelah. Mataku yang sudah teramat berat ini masih harus tetap fokus memperhatikan tulisan yang harus aku koreksi. Akhir-akhir ini sepertinya aku memang mencoba tidak peduli pada apa pun dan menguras begitu banyak tenaga, sehingga lupa akan kesehatan yang lebih penting; pusing akibat flu menambah lemah kondisiku.
Kini, aku harap kamu tahu, meski aku
yakin, kamu tidak akan mungkin membaca blogku (lagi). Aku mengoreksi
tulisan-tulisanku bukan hanya dengan rasa lelah di tubuhku, tapi juga di
hatiku. Aku masih mengingat persis kejadian delapan bulan lalu, saat kamu melukaiku, saat kamu meninggalkanku.
Kini, aku harap kamu tahu, senyum yang aku tunjukkan padamu di hari itu hanya untuk menutupi luka yang kamu buat. Mungkin kamu pikir aku akan tetap baik-baik saja.
Kini, aku harap kamu tahu, senyum yang aku tunjukkan padamu di hari itu hanya untuk menutupi luka yang kamu buat. Mungkin kamu pikir aku akan tetap baik-baik saja.
Mungkin, kamu tidak menyukai
sosok wanita sepertiku untuk mendampingi sosokmu yang begitu kuat. Aku yang
hanya perempuan cengeng dan mudah sekali cemburu ini sampai kapan saja tidak
akan mungkin merebut banyak perhatianmu.
Delapan bulan lalu— kamu memilih
untuk mengakhiri hubungan kita, membuatku berpikir kamu hanya mempermainkanku. Kini, aku harap kamu tahu ini. Selamanya tak akan terasa sangat lama untuk mengutuk
alasanmu mengakhiri hubungan kita. Bagaimana mungkin aku bisa tetap baik-baik
saja saat aku tahu, ada benih yang kamu tanam di rahim wanita itu. Ya, itu
alasanmu mengakhiri kita. Tidak akan ada wanita yang bisa tetap baik-baik saja
saat tau lelakinya menghamili wanita lain.
Aku membenci ketololanku, kenapa
aku bisa dibodohimu. Aku kira kamu laki-laki yang baik, karena selama ini kamu
selalu memperlakukanku dengan terhormat. Sekalipun tidak pernah berlaku kurang
ajar terhadapku.
Bahkan aku rela hadir di acara
resepsi pernikahanmu. Semua sahabatku melarangku untuk itu. Tapi dulu untuk terakhir
kalinya, aku ingin menunjukkan bahwa aku akan tetap baik-baik saja. Bahkan saat
menjabat tanganmu di pelaminan, aku berkata “Aku turut bahagia, atas bahagiamu.”
Aku jatuh, cinta. Aku harap kamu
tahu... Meski aku tak mau menunjukkan kelemahanku secara langsung, tapi dengan
sisa kebaikan di hatimu, kini, aku harap kamu tahu dan tak akan menyakiti wanita itu.
Galau bu?
BalasHapusCuma fiktif belaka, Bu. :D
Hapusasal bu .. asli ato palsu
BalasHapusTulisan asli hasil karangan, Pak Bubud. :p
Hapuspak bubud ... belum tua sudah dipanggil bapak :D
Hapus