Sabtu, 16 Agustus 2014

Hitungan Menit

Sepertinya Lintang memang tidak benar-benar memahami perasaan ini—perasaan sahabatnya yang diam-diam berharap lebih. Bukan cuma jadi teman, tapi jadi seseorang yang dicintai juga.

Perhatianku? Kekhawatiranku? Perlakuan spesialku? Arghhh, Mora, hentikan perasaan ini!

Aku melangkah menyusuri taman yang biasanya kami datangi bersama. Tapi kali ini berbeda. Hubungan kami sedang renggang akhir-akhir ini. Aku terlalu sensitif, dan dia mungkin mulai bingung menghadapi sikapku. Aku juga bingung menghadapi diriku sendiri.

Lalu aku melihatnya. Lintang. Nggak salah lagi, dia berdiri di dekat lampu taman. Ngapain dia di situ? Sendiri pula. Nyapa nggak ya? Hmm... jangan dulu deh. Tatapannya kosong. Seperti sedang mikirin sesuatu yang berat. Atau... ngomong sendiri? Ya ampun, dia ngobrol sama tiang lampu? Nggak mungkinlah. Tapi dia memang kelihatan gundah. Aku penasaran, jadi aku pelan-pelan mendekat, mencoba nguping.

Lalu...

"Moraaaaa. Aku mencintai kamu, Moraaaaaaa!"

Deg.

Itu... suara Lintang? Dia bilang cinta? Sama aku?

Oh Tuhan, itu namaku, kan? Mora? Aku Mora yang mana dulu nih? Tapi sepertinya nggak salah, itu aku! Ini mimpi? Kalau iya, plis jangan bangunin aku dulu.

Aku cubit tanganku sendiri. Nggak cukup. Lalu seekor semut menggigitku. Sakitnya nyata. Oke, aku nggak mimpi. Terima kasih semut, kamu saksi kisah cinta ini. Gila ya, bisa-bisanya aku bersyukur digigit semut.

Tapi sekarang... aku harus ngapain? Langsung nyamperin dan bilang, “Aku denger semuanya, dan aku juga cinta kamu?” Duh, nggak dulu deh. Badanku lemes, lutut gemetar, jantung balapan. Padahal kalau bukan di hadapannya, aku bisa tampil garang. Tapi Lintang tuh selalu bikin hatiku merendah. Bukan minder, cuma… lembek aja gitu.

Mungkin mending aku pulang aja dulu. Biar besok-besok aku pancing dia pelan-pelan. Aku pun berbalik, siap melangkah—

“Haii, Lintang.”

Eh?

“Hai, Mora.”

Ha? Mora? Tadi dia bilang Mora… terus ini siapa lagi Mora?

“Tadi aku denger loh.”

“Ehm, eh jadi kamu denger… duh jadi salting gini.”

“Kamu beneran cinta sama aku?”

“Iya, Mora.”

Loh???

INI BERCANDA???

Siapa perempuan itu? Namanya juga Mora? Seriusan? Kenapa bukan Marni gitu, atau Mita? Hadeh, Tuhan, aku baru juga bahagia sebentar.

Untung aku belum muncul di depan mereka. Bisa-bisa malu semalu-malunya. Aku hanya bisa berdiri diam, sambil terus mendengarkan mereka.

“Aku juga gitu, Lintang,” katanya.
“Aku mau sekarang ‘aku dan kamu’ jadi ‘kita.’”
“Iya, aku juga mau.”

Lalu mereka berpelukan. Manis banget, kayak Teletubbies. Tapi aku? Rasanya pengen meledak. Ternyata Mora yang dia cintai... bukan aku.

Ada dua Mora di dunia ini. Mora yang dia peluk. Dan Mora yang diam-diam selalu berharap, tapi tak pernah dimengerti.

Tuhan... tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Karena dalam hitungan menit, doaku berubah.

Jangan Berakhir

Sunyi. Hanya tarikan napas Alga yang terdengar di antara keheningan sore itu. Ia duduk menunduk, tepat di samping Fia yang sejak tadi hanya menatap tanah. Tak ada sapa, tak ada tawa, tak ada topik remeh yang biasa mereka bicarakan. Ini bukan pertemuan seperti biasanya. Entah kenapa, semuanya terasa salah.

Alga mengalihkan pandangannya, mencoba memecah diam. “Fi... kita kenapa?”

Fia mengerutkan kening, pelan menjawab, “Kenapa apanya?”

“Aku ngerasa kita... nggak kayak dulu.”

“Aku juga ngerasa gitu.”

“Lalu menurut kamu... apa yang beda?”

Fia menatap Alga sejenak. “Kamu dulu yang jawab.”

“Kamu yang aku tanya duluan,” Alga balas dengan senyum kaku.

Fia menghela napas. “Aku cuma pengen denger dari kamu.”

Alga mengangguk pelan. “Aku ngerasa kita makin jarang ngobrol, makin kaku. Nggak sehangat dulu.”

“Kamu ngerasa hubungan kita udah nggak seru?”

“Aku nggak tahu... mungkin iya.”

Fia menggigit bibir bawahnya. “Aku bosan, Ga. Hubungan kita terlalu datar. Nggak ada gregetnya. Kadang... aku bahkan ragu kamu masih cinta aku atau nggak.”

Deg.

Alga menunduk. Kata-kata itu menusuk, tapi ia tahu Fia nggak bohong.

“Kalau kamu ngerasa kayak gitu... kamu maunya gimana?”

Fia ragu sejenak. “Aku pikir... kita butuh jeda.”

“Putus?”

“Ya... tapi bukan berarti beneran selesai. Cuma... nggak usah ada status dulu. Jalan masing-masing, liat nanti gimana.”

Alga terdiam lama. Lalu pelan menjawab, “Yaudah.”

Fia menatapnya, seakan tak percaya Alga akan setenang itu. “Cuma ‘yaudah’?”

“Itu keinginan kamu. Aku juga ngerasa kita butuh waktu.”

“...Aku pulang dulu.”

“Mau aku anter?”

Fia tersenyum miris. “Papa nggak suka kalau aku dijemput tapi nggak dianterin pulang. Jadi, iya. Anterin.”


---

Fia duduk sendirian di kamar malam itu, matanya menatap kosong ke layar ponsel. Pikirannya kalut. Dia mengira Alga akan menolak, akan marah, atau setidaknya bertanya kenapa. Tapi tidak. Alga hanya menyetujui, seperti tak keberatan kehilangan hubungan ini.

Sementara itu, Alga juga diam di kamarnya. Dia menatap langit-langit, mencoba mencerna semuanya. Ia tak ingin hubungan ini berakhir. Tapi bagaimana caranya memperjuangkan sesuatu yang bahkan Fia sendiri ragu?


---

Beberapa hari kemudian, Fia melihat sesuatu dari kejauhan. Alga. Bersama seorang perempuan. Mereka duduk berdampingan, tertawa kecil, seperti tak terjadi apa-apa. Hati Fia mencelos. Dia ingin marah. Tapi marah sebagai siapa?

Alga pun sebenarnya sadar Fia memperhatikannya. Ia bisa menangkap perubahan di wajah mantannya—ya, mantan? Atau masih?—dari kejauhan. Fia mengalihkan wajah, pura-pura tidak peduli. Tapi jelas sorot matanya redup. Luka itu nyata.

Fia pun membalas. Ia menghampiri teman lelaki yang kebetulan lewat, menyapanya, tertawa, seolah sedang akrab. Alga menatap mereka dari jauh, tak lama kemudian ia berdiri dan pergi sendiri. Perempuan tadi? Bukan siapa-siapa. Sekadar teman.


---

Beberapa menit kemudian, ponsel Fia bergetar.
Satu pesan masuk.

Alga: Kamu ada waktu malam ini? Kita ketemu sebentar di café biasa.

Fia menatap pesan itu lama. Jemarinya sempat ragu... lalu mengetik perlahan.

Fia: Jam berapa?


---

Di sebuah kafe kecil sore itu...

Alga sudah duduk menanti, wajahnya tegang. Begitu Fia datang dan duduk di hadapannya, mereka hanya saling menatap beberapa detik sebelum Fia membuka suara.

“Ngajak ketemu, tapi diam aja?” Fia menyilangkan tangan.

“Aku kesel,” ucap Alga pelan, tapi tajam.

“Kesel? Karena apa?”

“Karena kamu... ngobrol akrab banget sama cowok itu. Nggak mikir malu apa?”

Fia tersentak. “Maksud kamu aku nggak tau malu? Kamu pikir aku seneng digituin?”

“Ya aku lihat sendiri kalian ngobrol ketawa-ketawa. Kamu keliatan nyaman banget.”

Fia menahan napas, menunduk sejenak, lalu menatap tajam. “Terus kamu? Duduk bareng cewek itu, nggak ada jarak, santai banget.”

“Dia yang nyamperin aku, bukan aku yang mulai.”

“Tapi kamu nggak nolak juga.”

“Karena... aku pengen lihat kamu cemburu.”

Fia terdiam. Lalu dengan suara nyaris berbisik, “Jadi kamu sengaja?”

“Aku cuma... pengen tahu masih ada rasa apa nggak.”

Fia menarik napas panjang. “Jadi kita cuma main tebak-tebakan perasaan sekarang?”

Alga menyentuh meja, menahan gugup. “Fi, aku nggak tahan. Aku masih sayang. Aku nggak mau semuanya berakhir.”

Fia tersenyum tipis, getir. “Aku juga nggak pernah niat mengakhiri. Tapi waktu aku bilang bubar, kamu setuju gitu aja.”

“Aku setuju di mulut, tapi hatiku nolak.”

“Kenapa nggak bilang?”

“Gengsi. Sama kayak kamu sekarang.”

Hening sejenak. Lalu mereka tertawa kecil bersama.

“Kita baru delapan hari bubaran,” kata Fia.

“Delapan hari yang terasa kayak delapan bulan.”

“Jadi... kita mulai lagi?” tanya Fia.

“Bukan mulai lagi,” jawab Alga sambil menatapnya lekat. “Kita lanjutin, tapi lebih dewasa. Nggak ada drama bodoh kayak kemarin. Deal?”

“Deal.”

Mereka tersenyum. Kafe itu masih sama, tapi rasanya berbeda. Hari itu, mereka memutuskan: tidak akan ada akhir, kecuali jika itu bernama masa depan bersama.

Kamis, 07 Agustus 2014

Cerita Ngalur Ngidul :D

Saat ini, aku sedang duduk di depan netbook, menatap layar kosong yang sesekali kuisi dengan ketikan tak beraturan, sambil mendengarkan suara hujan yang menari pelan di balik jendela kamar. Hujan selalu punya tempat spesial di hatiku—tenang, menyejukkan, dan membawa berkah. Katanya, waktu hujan turun adalah waktu mustajab untuk berdoa. Mungkin itu juga yang membuatku suka merenung saat hujan.

Tadinya aku mau keluar sebentar ke minimarket buat beli beberapa keperluan, tapi karena hujan deras, rencana itu kutunda dulu. Sebagai gantinya, aku bikin teh hangat dan nyiapin sedikit cemilan buat nemenin nulis. Eh, sempat ada insiden kecil: waktu mencet dispenser, air panasnya nyiprat ke tanganku. Perih! Tapi syukurnya cuma merah sebentar dan sekarang sudah mulai memudar.

Di sela-sela suara rintik hujan dan ketikan keyboard, aku muter lagu India—lagu jadul dari film Mohabbatein, “Aankhen Khuli.” Itu loh, lagu yang ada Jimmy Shergill-nya. Aku inget banget, dia idola pertamaku sejak pertama kali nonton film India. Sekarang sih dia udah berkumis dan tampilannya agak beda, tapi entah kenapa, aku tetap ngefans. Hahaha.

Hujan kali ini bawa aku nostalgia ke masa kecil. Waktu SD dulu, aku sering merengek ke Mama dan Abah minta main hujan. Biasanya nggak dibolehin. Tapi ada satu momen langka, aku akhirnya dibolehin keluar… dengan syarat pakai payung. Temen-temenku, Henny dan Tiara, juga dibolehin dengan syarat yang sama. Tapi ya namanya anak-anak, baru sebentar di luar, kami lepas semua payung dan langsung main hujanan sepuasnya. Hasilnya? Langsung dimarahi begitu ketahuan! Hahaha, kapok. Dari situ aku belajar: jangan sia-siain kepercayaan orang.

Sekarang sih udah nggak pernah main hujan lagi. Tapi kalau kehujanan, ya santai aja.

Sambil ngetik ini, aku juga lagi chatting sama teman lama di Facebook. Kami nostalgia bareng, ketawa-ketawa nginget masa-masa sekolah. Dulu dia itu rese banget pas upacara, suka becanda terus. Aku pernah sampai nginjek kakinya biar diam, daripada dia ditegur guru. Untungnya dia bukan tipe yang gampang marah. Wkwk.

“Ada saat untuk bercanda, ada saat untuk serius.”

Aku suka ketawa. Siapa sih yang nggak? Tapi menurutku, selera humor itu tetap harus punya batas. Nggak semua yang lucu bagi kita, lucu juga buat orang lain—apalagi kalau udah masuk ranah ngejek. Aku bersyukur banget punya sahabat-sahabat yang tahu batas, yang humornya sehat, dan care-nya luar biasa. Mereka udah kayak keluarga sendiri.