Rabu, 23 Juli 2025

Proses Toilet Training Daisha

 (Cerita kecil tentang kemandirian pertama dan dukungan cinta dari rumah)


Setelah kami melewati masa menyusui dan menyapih dengan tenang, tantangan selanjutnya hadir dalam bentuk kecil namun penting: toilet training.


Waktu itu usia Daisha sekitar 2 tahun 3 bulan. Mama mulai mengenalkan toilet training, bukan dari nol, karena sejak sebelum usia 2 tahun, Daisha sudah beberapa kali pup tidak di popok. Tapi untuk pipis, memang masih sepenuhnya di diaper.


Awal Mula: Mengajarkan Sinyal Tubuh


Kami tidak langsung melepas popok begitu saja. Mama dan Papa pelan-pelan mengajarkan Daisha mengenal rasa ingin pipis, memberi isyarat, dan mencoba bilang. Kami pasang jadwal, kami buatkan rutinitas. Kadang berhasil, kadang tidak, dan kami tahu, itu sangat wajar.


Di hari-hari pertama, ada kesalahan kecil di sana-sini. Karpet basah, celana kotor, bahkan tempat tidur kena juga. Tapi kami sudah siap, dan tidak pernah marah. Kami tahu, ini fase belajar. Kami lebih memilih memeluk daripada mengomel. Lebih memilih membersihkan sambil tertawa kecil, daripada membuatnya merasa bersalah.


Dukungan dari Papa


Yang paling Mama syukuri, Papa Daisha selalu hadir di proses ini. Ia ikut turun tangan: mengganti seprai, menenangkan Daisha kalau kecewa karena "kecolongan", bahkan ikut duduk di lantai sambil memotivasi, “Gak apa-apa, coba lagi nanti ya.”


Papa tidak hanya mendampingi secara fisik, tapi juga jadi penyemangat yang tidak pernah lelah. Peran itu sangat terasa. Mama tak sendirian. Dan Daisha pun tumbuh dalam ruang belajar yang penuh kasih.


Hasilnya


Daisha berhasil toilet training dalam waktu kurang dari seminggu. Kami lupa tepatnya, mungkin 5 hari atau 7 hari. Yang kami ingat adalah ekspresi bangganya saat berhasil bilang, lalu lari kecil ke kamar mandi. Kami juga ingat wajah puasnya setiap selesai, dan senyum lebar sambil berkata, “Udah pipis, Ma!”


Dan rasanya… luar biasa. Bukan karena bebas popok, tapi karena melihat Daisha percaya diri. Karena kami menyaksikan anak kami menaklukkan tahapan penting dalam hidupnya, dengan cara yang lembut dan penuh pengertian.



---


Untuk Daisha


Tidak ada yang terlalu kecil untuk dirayakan, Nak. Bahkan hal yang tampak sederhana seperti belajar pipis sendiri, adalah langkah besar untukmu—dan juga untuk Mama Papa yang terus belajar menjadi orang tua.


Terima kasih telah berproses dengan sabar. Terima kasih sudah percaya pada arahan kami. Dan terima kasih juga, untuk tidak menyerah di setiap harinya.


Kamu anak yang hebat. Papa dan Mama akan selalu ada, di sampingmu, dalam setiap proses belajar yang lain nanti.

Perjalanan Menyusui dan Menyapih Daisha

 (Catatan sederhana dari Mama untuk Daisha)


Menyusui kamu adalah salah satu bab paling hangat dalam hidup Mama. Dari awal yang penuh harap, sampai akhir yang mengajarkan banyak hal tentang cinta dan melepaskan.


Dua Hari Pertama


Waktu itu, ASI Mama belum keluar. Dua hari pertama setelah kamu lahir, kamu sempat diberi susu formula dulu. Mama sempat merasa khawatir, bahkan sedih—takut kalau Mama tidak bisa memberi yang terbaik.


Tapi setelah Mama pijat laktasi—meski sakitnya luar biasa—ASI pun mulai keluar. Saat itu, rasanya seperti keajaiban kecil yang hadir di tengah rasa lelah dan harap. Dari situ, perjalanan menyusui kita pun dimulai.


Dua Tahun Menyusui


Daisha menyusu langsung dari Mama sampai usia dua tahun. Kamu menyusu sesukanya—tidak terus-menerus menempel, tapi tahu kapan butuh rasa nyaman.


Mama masih ingat, kamu tidak pernah menggigit selama menyusu. Kamu begitu lembut dan penuh pengertian. Rasanya, setiap sesi menyusu itu bukan hanya tentang memberi makan, tapi juga berbagi kehangatan dan rasa aman. Kadang kamu tertidur dalam pelukan, kadang cuma ingin sebentar, lalu melanjutkan bermain.


Menyapih: Melepas dengan Lembut


Sekitar satu hingga dua bulan sebelum usia dua tahun, Mama mulai mengurangi frekuensinya. Kita mulai dari menyapih waktu tidur siang, lalu malam. Biasanya, di masa akhir menyusu, kamu hanya menyusu saat mau tidur atau saat bepergian.


Hari pertama dan kedua setelah benar-benar disapih, kamu menangis. Mama tahu itu bukan tangisan marah, tapi karena bingung. Jadi Mama tetap peluk kamu erat-erat. Menemani tidurmu, mengusap punggungmu, membisikkan bahwa semuanya baik-baik saja.


Ajaibnya, setelah itu kamu bisa mengerti. Masih ada sedih sedikit, tapi kamu menerima prosesnya. Kita berpisah dari rutinitas menyusu tanpa drama besar, tanpa paksaan. Dengan lembut, kamu belajar lepas. Akhir Mei 2023, kamu resmi berhenti menyusu.



---


Untuk Daisha


Setiap perjalanan menyusui berbeda. Ada yang singkat, ada yang panjang. Ada yang penuh tantangan, ada juga yang sederhana. Tapi semuanya sah. Semuanya bentuk kasih sayang.


Buat Mama, menyusui adalah salah satu bentuk ikatan paling alami dan dalam. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk cinta. Ada banyak cara Mama mencintaimu, dan banyak cara anak-anak lain dicintai oleh orang tuanya.


Terima kasih sudah menjadi teman belajar yang sabar, Daisha. Terima kasih sudah tumbuh bersama Mama, pelan-pelan, dengan cara yang sederhana dan hangat.


Cerita Lahiran: Hari Ketika Daisha Lahir ke Dunia

(oleh Gina – catatan kecil untuk Daisha, kelak)

Tanggal 4 Juni 2021, aku resmi menjadi seorang ibu. Hari itu seorang bayi cantik seberat 3,4 kg dan panjang 49 cm, lahir ke dunia lewat proses persalinan yang begitu syahdu: persalinan normal dengan jahitan.

Sebelum Daisha lahir, jujur, aku takut. Takut luar biasa.
Takut sakit. Takut dijahit. Bahkan pernah terbayang, kalau kontraksi datang, mungkin aku bakal cakar-cakar suami saking paniknya.
Tapi… semua itu tidak terjadi.

Aku menjalani persalinan normal dengan jahitan, tapi ternyata rasa takutku dikalahkan oleh keberanian yang seketika datang. Ketika kontraksi datang dan pembukaan mulai terasa, aku masih bisa duduk tenang. Bahkan saat pembukaan 4, aku masih bisa ngobrol santai, meskipun ya… nyeri itu tetap ada. Tapi ternyata, tubuhku dan pikiranku lebih siap dari yang pernah kubayangkan.

Ada seorang ibu di ruang bersalin yang sempat menghampiri dan berkata, “Lho, ini udah bukaan 4 kok kamu nggak menangis?” Aku senyum saja, malu menjawab. Dalam hati aku hanya bilang: Aku juga kaget, Bu… aku juga kira aku bakal panik.

Saat akhirnya masuk ke tahap mengejan, aku cuma bisa menggenggam tangan suamiku sambil istigfar. Nggak ada drama. Nggak ada teriakan. Nggak ada amukan seperti yang sering kutonton di sinetron. Hanya ketegangan yang sunyi dan doa yang terus terucap.

Dan akhirnya…
Tangisan pertama itu terdengar.
Lembut. Lantang.
Dan aku menangis. Tapi bukan karena sakit,
melainkan karena rasa syukur yang tak bisa aku bendung.


---

Dua Hari Tanpa ASI

Setelah Daisha lahir, babak baru dimulai. Dua hari pertama… ASI-ku belum keluar. Aku sempat panik, merasa gagal. Bahkan ada momen ketika aku bertanya dalam hati, “Kok tubuhku belum bisa memberi apa yang dia butuhkan?”

Daisha sempat diberi susu formula. Tapi aku tetap berusaha.
Aku mencoba pijat laktasi — dan ya ampun, itu sakitnya bukan main. Tapi dari rasa sakit itu, datanglah hadiah besar: ASI pertamaku keluar.

Mulai hari itu, aku bisa menyusui Daisha. Hari demi hari kami jalani, penuh pelukan, penuh keajaiban kecil. Sampai akhirnya menyusui menjadi bagian dari hidup kami selama dua tahun penuh.


---

Penutup

Kadang aku merasa sungkan menceritakan ini. Karena aku tahu, setiap ibu punya perjalanan yang berbeda. Ada yang melalui operasi caesar, ada yang berjuang lama di ruang bersalin, ada yang ASI-nya tidak keluar sama sekali.

Tapi hari ini, aku menulis ini bukan karena aku merasa lebih hebat dari ibu lain. Aku menulis ini karena aku ingin Daisha tahu, suatu hari nanti, bahwa sejak hari pertama dia datang ke dunia, ia telah mengajarkan banyak hal pada ibunya — termasuk arti kekuatan, keberanian, dan rasa syukur yang mendalam.

Semua ini terjadi bukan karena aku luar biasa,
tapi karena Allah memampukan.
Karena Daisha menguatkan.
Dan karena aku memilih untuk percaya — bahwa tubuhku, meski takut, bisa melahirkan dengan tenang.

Untuk para ibu lain di luar sana:
Perjalananmu sah, valid, dan berharga.
Kita mungkin punya cerita yang berbeda, tapi cinta kita tetap sama: untuk anak-anak yang Allah titipkan.