Sabtu, 26 Desember 2015

Rendahnya Minat Baca Masyarakat Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membaca berarti melihat, memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan maupun hanya dalam hati).

Setelah 70 tahun Indonesia merdeka dan tentunya sudah semakin banyak masyarakat Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan, semestinya tingkat minat baca Indonesia bisa jauh lebih tinggi. Masih tidak banyak yang tahu kalau setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional, padahal kelahiran Hari Buku Nasional yang dicetuskan di Jakarta pada 17 Mei 1980 itu dimaksudkan untuk menggalakkan minat masyarakat terhadap buku. Tujuan lainnya untuk menumbuhkan produksi buku di Indonesia. Namun, tujuan dicetuskannya Hari Buku Nasional nampaknya belum memiliki dampak signifikan terhadap minat baca masyarakat terhadap buku.

Budaya membaca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Masyarakat kita hanya terbiasa mendengar berbagai cerita secara verbal atau lisan yang diceritakan secara turun menurun. Biasanya budaya membaca dipengaruhi oleh warisan dari orang terdekat, misalnya orang tua.

Merujuk dari beberapa data, data pertama merupakan data yang pernah dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 dijelaskan bahwa sebanyak 91,68 persen penduduk yang berusia 10 tahun ke atas masih menyukai menonton televisi, dan hanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca surat kabar, buku, atau majalah. Lalu, data kedua, International Education Achiecment (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 negara peserta studi, yang berarti Indonesia menempati urutan ke-38 dari 39 negara. Data ketiga merupakan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah laporan pendidikan “Education in Indonesia From Crisis to Recovery” tahun 1988, yang menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI SD hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5). Data keempat, konsumsi surat kabar untuk 45 orang (1:45). Di Jawa Barat, buta huruf masyarakatnya mencapai 1,8 juta orang dan Banten 1,4 juta dari 8 juta warganya. Idealnya satu surat kabar dibaca oleh 10 orang atau dengan ratio 1:10. Data kelima, Third International Mathematics and Science Study (TIMMS), kemampuan matematika para siswa SLTP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara. Berdasarkan data tersebut, Education for All Global Monitoring Report tahun 2005, Indonesia merupakan negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juga orang buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia (kompas, 20 Juni 2006). Rendahnya kemampuan membaca anak-anak berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Data terakhir dari United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate sebagai barometer pengukur kualitas suatu bangsa. Hal itu juga berpengaruh pada tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia (Human Development Index). Di mana menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-110 dari 177 negara-negara di dunia (Human Development Report 2005. Beberapa hasil kajian dan laporan UNDP bisa disimpulkan bahwa “kekurang-mampuan anak-anak Indonesia dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa karena membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan budaya bangsa.

Melihat beberapa data di atas dari sekian banyak data yang sebenarnya ada saja sudah tentu sangat memprihatinkan, mengingat budaya baca sangat penting untuk diterapkan. Jika generasi sekarang memiliki minat baca rendah, bagaimana caranya agar bisa menjadi contoh yang baik untuk generasi mendatang.

Di negara maju seperti Jepang, budaya membaca adalah suatu kebiasaan yang telah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Tentu saja kita sering mendengar budaya membaca masyarakat Jepang yang sangat luar biasa. Tingginya minat baca tersebut adalah kunci sukses orang Jepang hingga membawa negaranya ke peringkat negara maju di dunia.

Penyebab rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia mungkin terjadi karena banyak alasan, seperti terlalu banyak jenis hiburan, misalnya games dan tayangan TV yang kurang mendidik atau bahkan tidak mendidik sama sekali yang dapat mengalihkan perhatian orang-orang dari membaca. Banyaknya tempat hiburan dan membuat orang lupa waktu juga merupakan penyebabnya. Apalagi sarana untuk memperoleh bahan bacaan belum terlalu menunjang. Ditambah harga buku yang masih relatif mahal yang tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Kadang banyak pula image atau kesan yang sangat keliru, yaitu orang yang gemar membaca sering dikesankan sebagai orang yang lugu, penggugup, kurang pergaulan, dan kesan-kesan jelek lainnya. Rendahnya minat baca masyarakat kita sangat mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia. Untuk dapat mengejar kemajuan yang telah dicapai negara-negara tetangga, perlu kita contoh apa yang menjadikan mereka lebih maju. Dengan semakin majunya zaman, membaca sekarang bisa lewat banyak media. Maka sudah seharusnya kita tingkatkan minat baca kita mengingat kemajuan zaman yang sangat memudahkan. Sudah selayaknya buku kita jadikan kebutuhan yang sebanding dengan pangan, sandang, dan papan.

Jika banyak buku-buku yang diperlukan untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan, maka bisa dibayangkan banyaknya penulis buku, penerbit, dan toko buku yang sukses. Karena itu berpotensi besar menciptakan banyaknya lapangan kerja.

Untuk bisa menjadi bangsa yang unggul, semua pihak harus turut berperan.

Pemerintah perlu mengadakan suatu gerakan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, pemerintah juga harus menyediakan sarana dan prasarana yang layak juga memadai (seperti menambah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan), sering mengadakan pameran buku, menekan harga buku di pasaran; sehingga diharapkan dengan semakin murahnya harga buku masyarakat bisa menyisihkan uangnya untuk membeli buku. Setiap peringatan Hari Buku Nasional hendaknya diadakan acara-acara yang menarik yang berhubungan dengan buku. Misalnya, pemberian penghargaan kepada orang-orang yang peduli dengan buku. Budaya baca hendaknya menjadi prioritas utama pemerintah dalam meningkatkan kecerdasan bangsa.

Lembaga pendidikan pun harus turut serta berperan untuk selalu memberikan pengarahan tentang pentingnya membaca kepada para peserta didik.

Begitu juga dengan masyarakat, harus mengubah pola pikir mengenai membaca. Membaca itu mengasyikan, bukannya membosankan. Jadi pada masing-masing pribadi perlu adanya pola pikir yang lebih maju, sudah saatnya masyarakat kita menjadi masyarakat yang senang membaca seperti masyarakat di negara maju yang memiliki motivasi kuat untuk terus membaca.

Pada intinya peningkatan minat baca masyarakat harus dilakukan oleh semua pihak agar mendapatkan hasil yang optimal agar sesuai dengan keinginan. Mulai dari pemerintah, pihak swasta, pustakawan, lembaga pendidikan, keluarga, orang tua, pecinta buku, serta berbagai elemen masyarakat lainnya. Dengan membiasakan budaya membaca, semua pihak akan mendapatkan banyak manfaat, informasi pun akan dengan mudah didapat.

Senin, 05 Oktober 2015

Basa-basi

Hari ini lumayan padat, tapi seru! Barusan aja selesai kerja kelompok, dan sekarang lagi santai sejenak di kampus sambil nebeng wifi. Hehe. Lumayan banget sih, koneksi kampus emang nggak ada lawan. Cepat, stabil, dan yang paling penting: gratis! Jadi mumpung belum pulang, aku sempatin update blog kesayangan ini. Nggak kerasa udah lama juga nggak nulis. Kalau lagi bareng temen-temen kampus tuh, waktu bisa lewat tanpa terasa.

Tadi juga udah sempat sesi foto-foto dadakan. Yaaa, anak kuliahan mana sih yang nggak pernah iseng narsis abis kerja kelompok? Kayaknya udah jadi tradisi tak tertulis, deh. Yang penting bukan cuma nugasnya yang selesai, tapi juga kenangannya yang diabadikan. 😄📸

Hari ini kelas terakhirku adalah Pengantar Bisnis. Meskipun cuma satu mata kuliah, rasanya capek juga karena sebelum itu udah sempat mikir keras bareng-bareng nyelesaiin tugas kelompok. Dan tau nggak sih? Midtest tinggal satu bulan lagi! Deg-degan? Banget. Tapi juga penasaran dan semangat, karena ini bakal jadi midtest pertamaku sebagai mahasiswa. Rasanya beda banget sama ujian-ujian pas SMK dulu.

Ngomongin soal kuliah, semakin hari aku makin cinta sama jurusanku: Akuntansi. Iya, walaupun banyak yang bilang ribet, penuh angka, dan “kering”, tapi aku justru nemuin sesuatu yang aku banget di sini. Karena udah punya bekal dari SMK, aku nggak terlalu kaget sama dasar-dasarnya. Justru malah jadi semacam fondasi yang bikin aku lebih percaya diri untuk belajar materi yang lebih kompleks.

Tapi walaupun udah ngerti dasarnya, tetep aja ya… tugas dan materi kuliah nggak bisa dianggap enteng. Harus pinter-pinter atur waktu biar tetap waras dan bahagia. 😂 Kadang capek sih, tapi aku berusaha buat tetap ceria. Karena buatku, kuliah itu bukan cuma soal nilai, tapi juga tentang bagaimana kita menikmati prosesnya dan tetap bersyukur.

Oke, sepertinya waktunya pamit dulu. Aku mau pulang—kasian motorku kelamaan nunggu di parkiran, bisa-bisa dia ngambek. Hahaha. Terima kasih udah mampir baca ocehanku hari ini. Nanti aku update lagi cerita-cerita kampus lainnya, ya!

Bonus: nanti aku upload juga foto-foto warga kelas yang cetarrr~ ✨

Bonus foto-foto warga kelas....


Senin, 28 September 2015

Hai Blog, Aku Datang Lagi! 🌿

Huaaah… akhirnya balik lagi nulis di sini setelah sekian lama vakum! Rasanya tuh ya, kayak pulang ke rumah lama yang penuh kenangan—dan kali ini aku balik dengan status baru: mahasiswi! 🥳

Iya, sekarang aku resmi kuliah di STIE Nasional Banjarmasin, jurusan Akuntansi. Bahagia banget bisa masuk ke jurusan yang rasanya cocok banget sama aku. Dulu waktu SMA suka banget ngulik angka, laporan keuangan, dan sekarang bisa memperdalamnya? Wah, puas banget rasanya.

Tanggal 6 September 2015 kemarin aku ikut PKK (Pengenalan Kehidupan Kampus). Walau cuma sehari, tapi isinya padat banget, bener-bener daging semua. Sebelumnya tanggal 3 juga sempat ada pengarahan dulu buat persiapan. Trus, perkuliahan beneran mulai tanggal 14. Dua minggu ini rasanya nano-nano: dari yang semangat banget masuk kelas, sampai ngerasain deg-degannya tugas pertama. Tapi aku menikmatinya.

Kadang aku masih kangen masa putih abu-abu. Momen bareng sahabat, seragam sekolah, ruang kelas, bahkan guru-guru killer pun sekarang jadi kenangan manis. Tapi hidup terus berjalan. Aku bersyukur karena masa SMA-ku udah kulalui dengan baik dan penuh warna.

Oiya, alasan kenapa baru nge-blog lagi tuh... ada tragedi kecil. Waktu mau buka blog beberapa minggu lalu, netbook kesayangan aku nggak sengaja jatuh dan crack!—LCD-nya pecah 😭. Sakitnya tuh di dompet dan di hati. Tapi yaudah, namanya musibah, mungkin juga peringatan dari semesta biar aku lebih hati-hati.

Alhamdulillah-nya, setelah ikhlas, eh... Allah kasih ganti yang lebih baik. Rasanya bener-bener belajar bahwa kalau kita rela melepas sesuatu, pasti ada hal baik yang disiapkan sebagai gantinya. Hikmahnya, aku lebih sayang sama barang-barangku sekarang. Netbook baru ini juga jadi saksi semangat baruku menulis lagi! ✨

Banyak yang bilang, “kan bisa nulis lewat HP?” Ehehe… bisa sih, tapi aku tuh kalau nulis suka panjang-panjang. Ngetik panjang di HP tuh rasanya bikin jari pegal, mata sepet, dan ide pun kadang jadi nggak ngalir. Makanya aku nunggu momen yang pas dan nyaman buat nulis lagi.

Sekarang aku siap kembali ke dunia blog ini. Siap berbagi cerita tentang dunia kampus, tugas-tugas penuh tantangan, drama receh anak kos, sampai hal-hal kecil yang bikin aku belajar jadi dewasa secara perlahan.

Sekian dulu deh yaa, biar nggak terlalu panjang nanti bosan bacanya. Tapi tenang aja, ini bukan postingan terakhir. Aku janji akan sering main ke sini lagi.

Jangan lupa bahagia, ya! Dan rawat netbook kalian baik-baik! 😆
Sampai jumpa di cerita selanjutnya~

Senin, 29 Juni 2015

Aku Ada

Aku heran.
Sudah seminggu sejak kepergian Ibu, tapi kakak-kakakku seolah tak lagi menganggapku ada. Tak ada pelukan, tak ada sapaan, tak ada tempat di antara mereka.
Apa karena aku terlalu histeris saat Ibu meninggal? Tapi, bukankah itu wajar? Aku ini anak bungsu, baru lima belas tahun. Setelah sepuluh tahun lalu Ayah meninggalkan kami, mengapa Ibu harus menyusul juga?

Kakak-kakakku kini sibuk dengan dunianya masing-masing. Tapi mengapa harus aku yang ditinggalkan sendirian begini?
Padahal aku lihat sendiri, Kak Rina bahkan sempat pingsan waktu tahu Ibu sudah tiada.
Tapi sekarang?

Aku mencoba bicara, tak dihiraukan.
Aku melempar gelas di dapur, berharap mereka menoleh. Tapi yang kudapat hanya teriakan dan mereka lari ketakutan.
Aku memanggil Kak Kinan... tapi dia malah menjerit.
“Jangan ganggu Kakak, Dik!”
Aku tidak gila! Aku cuma... ingin didengar.

Setiap malam aku menangis. Kadang di teras, kadang di depan kamar mereka, kadang sendirian di pojok ruang tamu.
Aku tahu kamar mereka sempit, tapi kenapa tak ada satu pun dari mereka yang mengajakku tidur bersama? Padahal aku juga perempuan. Adik mereka. Tapi tiap aku masuk, mereka hanya bilang, "Panas... panas..."

Akhirnya aku menyerah. Malam itu aku masuk ke kamar mereka saat mereka tertidur.
Kupanggil nama satu-satu, melayang di atas mereka.
Mereka terbangun, menatapku, lalu menjerit histeris.

Kak Dila gemetar. Air matanya jatuh tak terkendali.

> “Cukup, En... cukup! Jangan terus menghantui kami! Kami tahu kamu belum tenang... setelah kamu memutuskan menggantung diri di depan rumah!”



Aku tertawa pelan. “Hi hi hi...”

Aku menyusul Ayah dan Ibu, Kak.
Tapi... sepertinya tempatku dengan mereka berbeda.

Kamis, 04 Juni 2015

Cara Kami Merayakan Kelulusan

Tanggal 15 Mei 2015, aku dinyatakan LULUS!
Abah... Mama... anakmu LULUS! 😭✨

Tiga tahun sekolah, tumpukan tugas, drama kelas, deg-degan ujian, sampai akhirnya hari itu datang juga. Rasanya legaaaa banget! Campur aduk antara bahagia, haru, dan sedikit sedih karena bakal ninggalin masa-masa putih abu-abu.

Terus, tanggal 18 Mei 2015, kami sekelas ngumpul buat foto-foto bareng. Nggak ada konvoi, nggak ada ngebut-ngebutan di jalan. Cuma kumpul seru, main bubuk warna-warni, dan ketawa bareng.
Say no to konvoi, yes to kenangan manis! 🤗

Dan ini… beberapa cuplikan momen penuh warna itu. 💙











Farewell Party

Yihaaa! Telat banget sih, tapi tetap mau cerita soal Farewell Party kami yang penuh tawa, drama (literally), dan kenangan.

Tepatnya tanggal 12 Mei 2015, acara perpisahan SMK Nahdlatul Ulama Banjarmasin diadakan di Gedung GOS, Taman Budaya Banjarmasin. Tempatnya kece, auranya udah berasa megah sejak melangkah masuk.

Pagi-pagi banget aku udah sibuk dandan—jam 06.30 WITA masih ngaca, touch up ini itu, dibantuin sama tante cantik nan baik hati yang biasa aku panggil Ciwi. Dandanannya lembut, tapi tetep bikin pangling. Hehe.

Niatnya sih mau dianter "ibu negara" alias Mama, atau "bapak negara" alias Abah. Tapi belum sempat rencana itu kejadian, jreng! Temenku udah nyampe rumah buat jemput. Padahal aku masih sibuk dandan. Dia nunggu sekitar sejam, duh maaf ya—tapi ya maklum, acaranya juga mulai jam 08.00 WITA.

Sesampainya di lokasi, kami semua langsung berbaur. Duduk di kursi-kursi yang udah tertata rapi, nunggu acara dimulai. Eh tiba-tiba—yang awalnya aku niatnya duduk manis doang—disuruh tampil Habsyi! Pak Pelatih manggil dan bilang aku harus ikut tampil. Yahh… bismillah aja deh. Lumayan, siapa tahu muncul di TV pas opening. Hahaha!

Lanjut ke acara hiburan, alhamdulillah aku dan teman-teman juga tampil pentas drama, dan—yeay!—semuanya berjalan lancar. Bangga banget sama tim kecil kami yang bisa ngasih penampilan terbaik di momen spesial itu.

Dan ya… kayak biasa:
📸 “Ini dia foto-fotonyaaaa~”
 Wefie!











Terima kasih, masa putih abu-abu.

Terima kasih teman-teman 12 Akuntansi B yang selama satu tahun memberi aku kesempatan memimpin kelas ini. Jadi ketua di kelas se-heboh ini tuh... luar biasa! Banyak hal konyol yang dulu bikin kita ngakak, tapi sekarang—saat dikenang—nggak jarang malah bikin mata basah. :")

Terima kasih juga buat teman-teman seangkatan di kelas tetangga—kelas yang saking seringnya aku sambangin, sampai rasanya kayak kelas sendiri. Hahaha. Nggak ada jarak, nggak ada kikuk, cuma tawa dan kebersamaan.

Terima kasih adik-adik kelas tersayang, semoga kami—kakak kelasmu ini—meninggalkan jejak sikap dan semangat yang patut kamu tiru.
Dan untuk kamu, salah satu adik kelas yang antusias banget nanya soal gimana aku bisa mewakili sekolah di LKS bidang Akuntansi... semoga giliranmu segera datang ya. Menang, menang, menang!

Terima kasih untuk guru-guru terbaik,
yang bukan cuma mengajar, tapi juga mendampingi.
Bukan cuma menuntun, tapi juga memeluk.
Kalian bukan hanya guru—kalian sahabat dalam langkah kami menuju dewasa. :")

 Saat dikalungkan ini sama Bu Kepsek, resmilah jadi alumni. :")

Jumat, 01 Mei 2015

Aku Datang!





Akhirnyaaa... setelah lebih dari sebulan menghilang dari dunia blog, aku kembali! Aku datanggg~ eh lebay, maaf 😆

Kenapa baru muncul lagi? Jadi ceritanya, beberapa tombol keyboard netbook-ku sempat nggak berfungsi. Harus diganti keyboard-nya, deh. Tapi sekarang sudah pulih, alhamdulillah. Kayaknya ini juga jadi pengingat buat aku supaya lebih sayang dan rajin ngerawat netbook kesayangan ini.

Oh iya, kata mamang pahlawan yang gantiin keyboard (baca: tukang servis), kalau tombol yang rusak cuma satu-dua, sebenarnya masih bisa diperbaiki tanpa perlu ganti total. Tapi kalau udah banyak, ya mau nggak mau diganti aja. FYI aja nih, buat yang punya kasus serupa, harga keyboard netbook Acer-ku ini Rp300.000, belum termasuk ongkos pasang yaa. Kalau kamu bisa pasang sendiri sih, lumayan hemat~ 😄

Oke, cukup dulu bahas pernetbookan.

Sekarang, tau nggak sih tanggal 5 April kemarin aku baru aja nambah umur? Yes, I’m officially sweet seventeen! 🎉 Dan ya, sekarang aku sudah punya Kartu Tanda Penduduk! #ResmiDewasaKatanya

Aku mau ngucapin banyaaak terima kasih buat semua yang udah ngucapin selamat, mendoakan, dan juga ngasih kejutan yang super duper berkesan. Dari hari-H sampai H+4 rasanya masih kayak euforia ulang tahun—diceplokin kue ke muka, dijadiin adonan berjalan, dan diisengin habis-habisan. Tapi jujur, semua itu bikin hari-hari ulang tahunku jadi nggak terlupakan.

Rasanya... udah 17 tahun aku hidup di dunia ini, lahir dari seorang Mama yang luar biasa hebat. Aku bersyukur banget masih bisa menikmati hidup sampai detik ini—masih dikelilingi orang-orang yang sayang sama aku, masih diberi waktu untuk membahagiakan mereka, dan menciptakan senyum di wajah mereka.

Buat Mama dan Abah, terima kasih tak terhingga. Nggak ada yang bisa menandingi kalian. Apa pun yang aku lakukan, semuanya buat kalian. Semangatku, pencapaian yang aku raih, itu semua karena dukungan dan doa kalian yang nggak pernah putus. Tanpa kalian, aku bukan siapa-siapa.

Buat keluargaku, aku bersyukur banget punya kalian. Rumah jadi hangat karena kehadiran kalian semua.

Dan buat sahabat-sahabatku—aku bangga bisa punya kalian. Kalian yang bisa bikin aku mikir, tapi juga bisa bikin kerusuhan maksimal. Gimana nggak rusuh, setiap ngumpul pasti hebohnya kebangetan. Hahaha.

Pokoknya untuk semua yang sudah hadir dan membuat hidupku lebih berwarna, terima kasih... dari lubuk hati terdalam. 😊


Gina, 17 tahun dan penuh rasa syukur.

Rabu, 18 Februari 2015

Disenggol Masa Lalu

Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti melepaskan beban yang selama ini kupeluk diam-diam. Baru saja, aku membuka email dan menemukan kabar yang langsung membuatku berdiri dari tempat duduk.

Cerpenku diterbitkan!

Cerpen yang kutulis penuh harap dan kukirim sebulan lalu ke salah satu majalah ternama, akhirnya benar-benar dimuat. Tapi bukan itu saja — aku juga diundang sebagai salah satu pembicara dalam seminar literasi di Surabaya. Dan bukan seminar biasa, karena aku akan tampil bersama penulis-penulis yang selama ini hanya bisa kupandang dari jauh. Rasanya… campur aduk: senang, bingung, terharu, teriak dalam hati.

Kenapa baru sekarang aku buka email-nya? Entahlah. Padahal aku menunggu-nunggu kabar ini dari awal bulan. Tapi setidaknya belum terlambat — mereka meminta konfirmasi maksimal hari ini. Dan ini bukan hanya soal kebahagiaan… ini tentang pencapaian pertamaku yang sesungguhnya. Bukan tentang berapa besar honornya, tapi tentang langkah kecil yang mulai membuka jalan menuju mimpiku sebagai penulis.

Rasanya ingin cepat-cepat pulang sekolah dan membagi kabar ini ke Mama.


---

Begitu bel pulang berbunyi, aku bergegas keluar kelas. Tidak seperti biasanya, langkah kakiku ringan dan cepat menuju mobil. Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Mama dengan suara paling riang yang bisa kubuat.

“Mamaaaah?”

Dari dapur terdengar suara Mama yang setengah bingung, “Ada apa, Kinar? Heboh banget dari tadi manggil-manggil Mama.”

“Ma, aku punya kabar gembiraaa banget! Mama mau tau?”

Mama menatapku penasaran. “Kabar apa memangnya?”

“Jadi gini, Ma. Mama inget kan waktu aku bilang aku ngirim cerpen ke salah satu majalah? Nah, cerpen Kinar keterima, Ma! Bahkan Kinar diundang buat isi seminar bareng penulis-penulis keren di Surabaya!”

Mama langsung memelukku. Senyumnya lebar dan matanya berbinar bangga.

“Alhamdulillah... Subhanallah, Kinar. MasyaAllah! Terus, kamu berangkatnya kapan?”

“Besok, Ma. Gimana, Mama izinin nggak?”

“Kok mendadak banget?”

“Sebenernya bukan undangannya yang mendadak. Tapi aku baru ngecek email tadi. Aku telat banget bacanya, dan konfirmasinya paling lambat hari ini.”

Mama menggeleng sambil tersenyum geli. “Kinaar, Kinaar… apa gunanya punya HP kalau nggak buat cek hal sepenting ini?”

Aku nyengir, “Iya, ya, Ma. Nanti malam aku telpon Papa, ya?”

Dan malam itu, setelah diskusi panjang dan bujuk rayu yang cukup manis lewat telepon, Papa akhirnya mengizinkanku pergi. Aku langsung memeluk Mama.

“Jadi gimana, Ma? Mama juga izinin, kan?”

Mama tersenyum hangat. “Iya, sayang. Mama izinin. Asal kamu jaga diri baik-baik, jangan lupa ibadah, dan kabarin Mama terus.”

“Siap, Ma!”


---

Malam itu aku sibuk bukan main. Packing koper, ngecek ulang semua barang, memastikan nggak ada yang tertinggal — mulai dari baju, notes, kartu identitas, hingga salinan cerpen yang sudah dimuat. Rasa gugup dan antusias bercampur jadi satu. Ini bukan cuma perjalanan ke luar kota, ini adalah langkah pertama dari mimpiku yang perlahan jadi nyata.

Pagi harinya, Mama mengantarku ke bandara. Kami tidak banyak bicara selama perjalanan, tapi genggaman tangannya hangat dan menenangkan. Sesampainya di ruang keberangkatan, Mama memelukku erat. Meski cuma dua hari, rasanya seperti kami akan berpisah sangat lama.

Aku mencium tangan Mama sebelum masuk ke ruang check-in. Aku melambaikan tangan sambil menahan senyum dan semangat yang hampir meledak. Setelah antre, aku duduk di ruang tunggu, menatap keluar jendela kaca menuju landasan pacu.

Ini dia. Aku benar-benar akan pergi ke Surabaya. Sendiri. Untuk sebuah misi kecil yang kuanggap besar. Untuk membagikan cerita. Untuk bertemu para panutanku. Dan untuk mengenalkan diriku — bahwa ada seorang gadis bernama Kinar yang percaya bahwa tulisan bisa mengubah banyak hal.

Aku memejamkan mata sejenak.

“Bismillah,” bisikku dalam hati.

Aku siap.

---

Sesampainya di Surabaya, aku langsung disambut para panitia seminar yang begitu ramah. Mereka menyapaku dengan hangat, seolah sudah mengenalku sejak lama. Salah satu dari mereka memintaku menunggu sejenak sebelum kami bersama-sama diantar ke penginapan.

Di dalam mobil, perbincangan kami mengalir ringan namun penuh makna. Kami membicarakan teknis seminar besok, alur acara, dan sedikit soal penulis-penulis yang akan hadir. Rasanya aku seperti sedang memasuki dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan — dunia literasi yang nyata, hidup, dan penuh semangat.


---

Keesokan harinya, tibalah saatnya seminar dimulai. Jantungku berdegup kencang, tapi lebih karena bahagia daripada gugup. Aku berdiri di depan ratusan pasang mata yang siap mendengarkan. Dan saat aku mulai berbicara, semua keraguan sirna. Aku merasa... inilah tempatku.

Setelah sesi selesai, beberapa peserta menghampiriku. Mereka bilang mereka suka caraku bercerita. Beberapa bahkan memintaku untuk segera menerbitkan buku. Aku tersenyum dan menjawab sejujurnya, “Akan aku usahakan secepat mungkin.”

Hari itu aku belajar banyak. Aku bertemu banyak penulis, mendengar cerita-cerita perjalanan mereka, dan meresapi betapa indahnya berbagi lewat tulisan. Dua hari di Surabaya yang singkat tapi membekas dalam — tak mungkin aku lupakan. Bahkan, aku dan beberapa panitia kini cukup akrab, seperti teman lama yang baru dipertemukan.


---

Hari ini, aku kembali ke Bandung.

Tapi... ternyata tidak semua hal bisa kutebak.

Sesampainya di bandara, Mama belum datang. Aku memang lupa mengabari akan tiba lebih cepat. Sambil menunggu, aku berdiri tak jauh dari pintu keluar, lalu… aku melihat sosok itu.

Seseorang yang tidak kujumpai selama empat tahun. Seorang pria. Berkacamata, dengan sorot mata yang dulu pernah begitu kukenal. Pria yang dulu... kupikir akan jadi rumah.

Degup jantungku langsung berubah ritmenya. Napasku terasa sesak. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu, ke masa di mana aku adalah versi diriku yang paling patah.

Padahal aku yakin sudah mengikhlaskannya. Bahkan aku sudah tidak menyebut namanya di doaku sejak lama. Tapi nyatanya… tubuhku masih ingat. Ingat akan rasa kecewa itu. Ingat akan luka yang tertinggal begitu lama.

Ah, bodohnya aku.

Kenapa aku harus disenggol masa lalu di hari yang seharusnya hanya penuh syukur ini?

Bukan, bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena rasa sakit itu belum sepenuhnya sembuh. Karena dia pernah menjadikanku pelarian. Karena aku pernah percaya, hanya untuk akhirnya ditinggal tanpa arah.

Lucu ya, saat aku pikir semuanya telah pulih, aku masih menyimpan puisi-puisi darinya. Bukan—mungkin bukan untukku puisi itu, melainkan untuk perempuan lain yang tidak pernah aku kenal. Tapi sudahlah. Aku akan segera membuang semuanya begitu sampai di rumah.

Aku tak berani menyapanya. Aku bahkan tak berani menatap lama-lama. Tapi aku tahu dia melihatku. Kami saling diam. Dan diam itu lebih nyaring dari ribuan kata yang pernah kami tukar dulu.

Tapi aku tahu satu hal: aku sudah bahagia sekarang.

Cinta yang sekarang kumiliki jauh lebih tenang. Lebih lembut. Lebih jujur. Aku tahu pria yang bersamaku sekarang mencintaiku karena siapa aku, bukan karena luka lamanya yang ingin ia tambal. Dan aku… sangat merindukannya hari ini.

Sesampainya di rumah nanti, aku akan menghubunginya. Mengundangnya makan malam, mengobrol banyak hal seperti biasa, dan mengatakan padanya — terima kasih karena hadir setelah badai reda.

Banyak rencanaku saat sampai di rumah nanti, seperti biasa. Tapi yang paling utama… aku hanya ingin segera memeluk Mama. Rumah paling aman yang tak pernah menyakitiku.

Dan mungkin, setelah semuanya tenang, aku akan menulis tentang ini. Tentang perasaan yang datang dan pergi sesuka hati. Tentang luka lama yang tak apa-apa sesekali menyapa. Tentang gadis yang belajar berdamai, lalu memilih pulang — kepada dirinya sendiri.

Jumat, 30 Januari 2015

Pergilah!

  
Pria itu memperhatikanku. Dari tadi. Sejak aku pertama kali melangkah masuk ke toko buku di mall ini, tatapannya tak lepas dari arahku. Aku mulai merasa gelisah. Ada apa sebenarnya? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Atau... dia mengenalku?

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Tapi... aku tidak mengenalnya. Wajahnya asing. Tatapannya tidak. Aneh, tapi terasa familiar.

Tapi sekarang—ke mana pria itu? Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Hilang. Raib. Seolah disapu angin. Hanya menyisakan rasa penasaran yang mengendap di dada.

Aku menghela napas pelan, berusaha kembali fokus pada misiku hari ini: mencari kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono. Aku mencintai karya-karyanya. Mungkin karena ia, seperti aku, tampaknya punya hubungan khusus dengan hujan. Banyak puisinya yang menuliskan rintik dengan cara yang tak biasa, seolah hujan itu hidup dan punya cerita sendiri.

Tiba-tiba—

“Ini yang sedang kamu cari?” sebuah suara mengejutkanku dari belakang.

Aku berbalik. Dan di sana dia berdiri, si pria misterius.

“Dari mana Mas tahu aku lagi cari buku ini?” tanyaku spontan.

“Aku penggemarmu, Gea,” ucapnya tenang, dengan senyum yang sulit dibaca.

“Penggemar?” alisku terangkat. “Aku makin nggak ngerti.”

“Kamu blogger, kan?” katanya yakin. “Aku pecinta tulisanmu. Aku baca blog kamu. Kamu sempat nulis tentang ingin beli buku ini.”

Mataku membulat. “Serius?”

“Iya, ini buat kamu.” Ia menyodorkan buku yang sejak tadi kucari.

“Terima kasih... Mas. Kok bisa kamu yang nemuin? Aku udah muter-muter dari tadi.”

“Iseng aja sih nyari di rak sastra. Eh, nemu.”

Aku mengambil buku itu, menatapnya sebentar sebelum berkata, “Sekali lagi, makasih banyak.”

“Sama-sama. Oh iya, kenalin, aku Faris.”

“Iya, Mas Faris. Salam kenal.”

“Salam kenal juga. Karena aku udah bantu kamu nyari buku ini… boleh nggak aku ajak kamu makan siang bareng? Di mall ini juga kok.”

Aku tertawa kecil. “Yaudah, boleh. Tapi aku bayar buku ini dulu ya.”

“Deal.”

---

Di Restoran Favorit Faris

“Udah, Mas. Mau makan di mana?” tanyaku setelah kembali dari kasir.

“Restoran favoritku. Ada di lantai dua.”

“Boleh!”

Beberapa menit kemudian, kami duduk berhadapan di meja dekat jendela kaca. Cahaya siang menyelinap hangat ke dalam ruangan.

“Kamu mau pesen apa?” tanyanya sambil menyodorkan buku menu.

“Aku ngikut kamu aja deh. Pasti kamu udah biasa makan di sini.”

“Haha, jangan gitu dong. Tetep harus baca menunya, siapa tau selera kita beda.”

“Aku percaya selera kamu halal dan enak,” jawabku santai.

Faris tertawa kecil sebelum memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah itu, ia kembali menatapku dengan sorot yang serius.

“Gea, aku penasaran. Apa sih yang bikin kamu suka banget sama puisinya Sapardi?”

“Aku selalu merasa... puisinya punya nyawa. Setiap baitnya tuh menyentuh, sederhana tapi dalam. Kayak kamu dibawa tenggelam dalam suasana, tanpa sadar.”

“Wah... kamu beneran penyair dalam bentuk blogger ya,” katanya terkagum.

Aku tersenyum. “Dulu aku pengen banget masuk fakultas sastra, tapi orang tua lebih mendukung aku ke ekonomi. Jadi ya aku ikutin. Tapi menulis tetap jadi tempat pulangku.”

“Keren. Nggak cuma tulisan kamu yang inspiratif, kamu sendiri juga.”

“Ehh... jangan berlebihan, Mas,” jawabku malu-malu.

“Hehe.”

“Permisi, ini pesanannya,” kata pelayan sambil meletakkan dua piring di meja.

“Makasih, Mbak,” jawab kami hampir bersamaan.


---

Setelah Makan

“Mas, makasih banyak ya, udah ditraktir. Jadi nggak enak, baru ketemu udah dibantuin nyari buku, sekarang makan bareng pula.”

“Aku justru seneng banget bisa ketemu langsung sama kamu. Bersyukur kamu bukan blogger misterius yang nggak bisa dilacak,” katanya sambil terkekeh.

“Haha. Syukurnya aku nggak pakai nama samaran ya.”

“Boleh minta nomor dan pin kamu nggak? Biar bisa ngobrol lebih sering.”

“Boleh. Nih, catet ya…”

Setelah saling bertukar kontak, aku bangkit dari kursi.

“Kayaknya pertemuan kita hari ini cukup sampai sini ya, Mas.”

“Baiklah, Gea. Tapi aku harap ini bukan pertemuan terakhir.”

“Aku juga,” jawabku, tersenyum tipis.

“Bye, Gea.”

“Bye, Mas Faris.”

Aku melangkah pergi, membawa pulang buku yang kucari dan cerita yang tak pernah kuduga.

---

Ternyata harapan Mas Faris waktu itu terkabul. Pertemuan kami di toko buku bukan yang terakhir. Justru sejak hari itu, pertemuan demi pertemuan terasa seperti kebetulan yang menyenangkan.

Siapa sangka, ternyata dia juga kuliah di kampus yang sama denganku. Kami hanya beda fakultas.

“Mas, kok kamu nggak bilang kalau ternyata kamu juga kuliah di sini?” tanyaku saat kami bertemu di kantin kampus.

Faris tersenyum nakal. “Kejutan dong, Gea. Masa kamu bisa sampai nggak tahu aku juga mahasiswa di sini?”

“Mahasiswa di sini ada ribuan, Mas. Mana bisa aku tahu satu-satu,” jawabku sambil nyengir.

“Hahaha, Gea Gea!”

“Lucu ya?”

“Biasa aja sih,” balasnya, terkekeh. Lalu ia menatapku dengan pandangan yang berbeda—lebih tenang, lebih dalam.

“Oh iya, Gea. Aku mau ngomong sesuatu.”

“Apa, Mas?”

“Aku suka sama kamu.”

Aku terdiam. Tak menyangka pernyataan itu meluncur begitu cepat.

“Beneran, Mas?” tanyaku pelan.

“Iya, aku serius. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?”

Aku menunduk sejenak, berusaha menenangkan degup jantungku. “Sebenernya... aku juga suka sama Mas, dari awal kita ketemu di toko buku.”

“Serius?”

Aku mengangguk pelan. “Jadi... aku mau.”

Faris spontan bersorak kecil, “Yeaay!”—suaranya membaur dengan hiruk-pikuk kantin siang itu. Saat itu, semuanya terasa ringan. Dunia seolah mengizinkan kami saling jatuh cinta.

---

Awalnya, aku pikir Mas Faris adalah laki-laki yang Tuhan kirim untuk menyembuhkan luka-luka lama yang masih tersisa. Ia datang di waktu yang tepat, dengan perhatian yang lembut, dan kata-kata yang membuatku merasa layak dicintai.

Setiap pagi, aku bangun dengan notifikasi pesan darinya: "Selamat pagi Gea, semangat kuliahnya ya. Jangan lupa sarapan."
Sesederhana itu, tapi cukup membuatku merasa dibutuhkan.

Kita sering makan siang bareng di kantin fakultas, kadang dia menjemputku setelah kelas. Kami bertukar cerita, saling mengenal, saling belajar mencintai. Di titik itu, aku merasa seperti tokoh utama dalam cerita cinta yang selama ini hanya bisa kubaca di novel.

Tapi aku salah.

Lambat laun, semuanya mulai berubah.

Pesan-pesan paginya tak lagi rutin. Ia bilang sibuk, banyak tugas, dosen killer, rapat organisasi. Aku percaya. Tapi ketika aku melihat story teman satu fakultasnya yang memperlihatkan dia nongkrong di kafe bersama teman-teman wanitanya, aku mulai ragu.

"Kamu nggak bilang ada acara sore ini?"
"Oh, itu dadakan, aku juga nggak enak nolak."
Selalu begitu. Selalu dadakan. Selalu lupa memberi kabar.

Dan aku tetap bertahan.

Puncaknya adalah malam itu. Aku sedang sakit, demam tinggi, dan sendirian di kamar kos. Aku hanya ingin dia datang, atau minimal menelpon. Tapi dia menghilang. Besok paginya, dia bilang HP-nya mati, padahal aku melihat fotonya semalam—di sebuah konser, tertawa lepas dengan seseorang yang bahkan tak pernah dia kenalkan padaku.

Itu pertama kalinya aku menangis karena merasa benar-benar sendirian... dalam hubungan yang katanya serius.

Aku tak langsung memutuskan pergi. Aku memberi waktu. Aku memberi ruang. Tapi ternyata, semakin aku bertahan, semakin aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku mulai mempertanyakan apa aku terlalu posesif? Terlalu sensitif? Tapi nyatanya, aku hanya terlalu mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar melihatku.

---

Hari itu aku menemuinya, bukan untuk marah, tapi untuk berpamitan.

"Mas, apa kamu sadar akhir-akhir ini aku lebih sering menangis daripada tertawa?"

Dia terdiam.

"Aku bukan marah, aku cuma sedih. Karena kita nggak lagi ada di titik yang sama. Kamu udah jauh duluan, aku terus ngejar, sampai akhirnya aku capek sendiri."

"Gea, jangan gitu dong…"

"Aku nggak apa-apa, Mas. Sungguh. Aku cuma nggak mau bertahan di hubungan yang bikin aku kehilangan harga diriku sendiri. Cinta nggak seharusnya bikin orang merasa kecil, ‘kan?"

Dia berusaha menggapai tanganku, tapi kali ini aku yang mundur. Aku sudah memutuskan.

"Terima kasih ya, udah pernah jadi rumah. Tapi aku mau pulang ke diriku sendiri sekarang."

---

Sejak malam itu, setelah aku memilih untuk mengakhiri semuanya, aku merasa seperti sedang melangkah sambil membawa separuh diriku yang luka.

Tapi hari demi hari berlalu, dan aku mulai mengenal Gea yang baru—yang tak lagi menunggu pesan masuk saat subuh, tak lagi mencemaskan siapa yang duduk di sebelah Faris hari ini, dan tak lagi menyalahkan diri sendiri atas cinta yang gagal.

Aku belajar menikmati kopi tanpa terburu-buru membalas chat. Aku kembali menulis puisi, kembali membaca buku tanpa harus menyisipkan harapan di antara halaman-halamannya. Aku bahkan mulai tertawa lebih lepas—tanpa takut ada yang bilang aku berlebihan.

Sampai akhirnya, dia datang lagi.

Dengan gaya bicara yang sama. Tatapan mata yang sama. Dan kalimat-kalimat yang dulu pernah membuatku luluh.

"Gea, kabarmu gimana?"
"Gea, aku kangen."
"Gea, kita bisa mulai dari awal kalau kamu mau."

Tapi aku tidak lagi menjadi Gea yang sama seperti dulu.

"Mas, kamu datang setelah semuanya selesai," jawabku tenang. "Kamu datang ketika aku sudah tidak lagi memohon untuk dipilih. Ketika aku sudah menyembuhkan lukaku sendiri."

Dia menatapku lama. Seolah tak percaya aku bisa berdiri setegak itu di hadapannya.

"Jangan gitu, Gea. Aku berubah. Aku sadar, aku salah ninggalin kamu kayak dulu."

Aku menarik napas pelan.

"Mas Faris, kamu tahu nggak kenapa aku ninggalin kamu waktu itu? Bukan karena aku nggak sayang. Tapi karena aku harus nyelametin diriku sendiri dari cinta yang bikin aku terus menerus mempertanyakan harga diriku."

Dia diam.

"Aku tahu kamu mungkin baru sadar sekarang. Tapi, aku juga udah sadar—kalau cinta yang baik, seharusnya nggak bikin orang ngerasa ditinggal walau dia punya pacar."

"Gea..."

"Aku nggak marah, Mas. Aku cuma... selesai."

Aku tersenyum. Kali ini bukan senyum pura-pura yang kutunjukkan untuk menutupi luka. Ini senyum tulus dari hati yang sudah memaafkan.

Lalu dengan suara paling lembut yang bisa kukumpulkan dari seluruh luka dan cinta yang pernah kujalani, aku berkata:

“Pergilah.”

Selasa, 20 Januari 2015

Tambang Ulang

Sebenarnya tulisan ini sudah lama tersimpan rapi di draf—saking lamanya, sampai berdebu dan nyaris terlupakan. Tapi daripada cuma jadi penghuni abadi folder tak tersentuh, lebih baik aku bagikan sekarang. Anggap saja ini nostalgia yang (akhirnya) dirilis ke dunia.

Perjalanannya sudah cukup lama, tepatnya di awal November 2014. Kami jalan-jalan ke Tambang Ulang, salah satu kecamatan di Kabupaten Tanah Laut. "Kami" ini siapa aja sih? Cukup banyak, dan semuanya punya warna masing-masing. Ada aku, Kak Daus, Henny, Fa’i, Ibu Dahlia, Ibu Aci, Pak Abdi, Pak Riadi, Kak Opek, Ibu Via, Pak Alvin, dan Kak Erma.

Kak Daus adalah sosok yang paling akrab sama aku—udah kayak kakak sendiri. Ibu Dahlia, Ibu Via, dan Pak Riadi adalah guru-guru di sekolah. Sementara Pak Abdi, Pak Alvin, dan Ibu Aci adalah staf TU yang selalu siap sedia di balik layar operasional sekolah. Kak Opek? Temennya Kak Daus, yang justru karena trip ini kami jadi kenal dan cukup dekat. Dan terakhir, Kak Erma—pacarnya Pak Alvin waktu itu, yang bikin rombongan ini makin seru.

Ide jalan-jalan ini sepenuhnya dari Kak Daus. Dia yang ngatur, ngajak, dan—yang paling bikin kami senang—dia juga yang traktir makan siang! Belum selesai sampai di situ, menjelang pulang sore harinya, dia juga mentraktir es kelapa muda dan es campur. Baik banget, kan? :’)

Meskipun… yaaa, kadang nyebelin juga orangnya. Tapi nyebelinnya tuh yang bikin kangen. Hahaha!

 Di Tambang Ulang ini ada labirin

Kami baru berangkat ke Tambang Ulang sekitar jam 11 WITA, sodara-sodara! Iya, ngaret banget—gara-gara nunggu rombongan kumpul semua. Tapi ya namanya juga jalan bareng banyak orang, wajar sih kalau molor. Yang penting tetap happy.

Begitu sampai di sana, sekitar habis Zuhur, kami langsung disambut... pintu yang masih terkunci. Ternyata area wisatanya belum dibuka. Untungnya, kami memang sekalian mau salat Zuhur dulu dan cari tempat makan siang. Jadi nggak terlalu bete juga sih.

Selesai salat dan perut pun terisi kenyang, barulah kabar baik datang—area wisata Tambang Ulang resmi dibuka. Horeee! Dan di sinilah keseruan dimulai. Kami benar-benar puas banget foto-foto. Seru, rame, heboh—campur semua jadi satu.

(Fotonya di sini nih~)





 
 




Sama Kak Daus! Itu yang lagi tiduran Pak Abdi, demen banget tiduran di situ kayaknya. :D


 Ini pas mau bikin video trio alay, malu-maluin banget. Haha!







Nah gitulah kenarsisan kami, fotonya sebenernya masih banyaaak. Tapi, segitu aja cukup yaa ditaroh di sini. :D
Oh iya, yang punya instagram, follow instagram aku: @ginaamaliia

Minggu, 18 Januari 2015

Jangan Lupa Cintai Diri Sendiri

Lagi jarang nulis cerpen akhir-akhir ini, bukan karena nggak sempet sih, tapi krisis ide banget. Otak rasanya kayak lagi libur nasional. Jadi daripada kosongin blog terlalu lama, kali ini aku mau cerita-cerita dikit, sekalian ngomongin soal hal penting yang kadang kita lupakan: mencintai diri sendiri. Yuk, duduk santai dulu sambil baca ya. 💛

Beberapa hari lalu aku habis kondangan lagi, kali ini resepsi keluarga. Yang minggu sebelumnya diadakan di Auditorium IAIN, nah yang kali ini di rumah mempelai. Dan seperti biasa, aku datang dengan setia pakai wedges. Waktu SMA tuh aku nggak suka pakai wedges karena takut pegel, tapi sekarang jadi ngerti kenapa banyak cewek suka pakai sepatu berhak: ternyata bener-bener bikin penampilan keliatan anggun! Tapi tetep ya, nggak mungkin juga naik gunung pakai wedges, bisa-bisa sandal gunungnya protes. 😆

Ngomong-ngomong, semalam sebenernya ada foto bareng pengantin yang pengen banget aku upload di sini, tapi sayangnya fotonya ada di kamera, belum sempat dipindahin. Sedih deh.

Tadi pagi juga lumayan heboh, ada acara maulid di sekolah. Karena aku ikut habsyi, otomatis harus tampil. Diminta datang lebih awal buat persiapan baju, make up, dan lainnya. Aku sempat panik karena beberapa temen belum datang juga. Akhirnya sempet ngirim SMS dengan nada agak sewot (maafkan aku, teman-teman 😅). Tapi maklumi ya, panik dan sedikit sensi karena, ya gitu deh, hormon lagi nggak stabil. Untung aja akhirnya tampilannya sukses dan semua berjalan lancar. Terima kasih buat semua yang udah kerja sama—makasih juga udah sabar sama aku yang rada drama hari ini. Hehe.

Pulangnya aku nebeng si Ali, karena temenku yang biasa bareng pulang duluan sama pacarnya (ciye). Eh tadinya sempat ditawarin tumpangan juga sama Pak Guru yang baik banget, tapi aku lagi asik makan gorengan jadi bilang “nggak usah dulu, Pak” 🤣 Pas gorengan abis, untung si Ali masih di sekitar situ, jadi bisa nebeng. Emang hidup tuh penuh keberuntungan kecil kalau kita sadar.

Nah, setelah cerita ngalor-ngidul yang entah berguna atau enggak ini, yuk kita masuk ke hal penting: mencintai diri sendiri. Kadang kita terlalu sibuk urusin orang lain, sampai lupa kalau diri sendiri juga butuh perhatian, dimanja, dan dicintai. Menurut aku, ada beberapa hal penting yang bisa bikin kita lebih sayang sama diri sendiri:

1. Tahu apa yang kamu mau
Ini penting banget. Kadang kita terlalu sibuk mikirin “apa kata orang”, sampai lupa dengerin suara hati sendiri. Kalau kamu tahu apa yang kamu pengenin, kamu akan lebih semangat ngejalaninnya. Hidup jadi lebih bermakna karena kamu punya tujuan pribadi, bukan sekadar ikutan arus.

2. Belajar jadi pendengar yang baik
Dengerin orang lain itu bukan berarti kamu lemah, justru kamu jadi belajar banyak hal dari cerita mereka. Dan percaya deh, jadi tempat curhat itu bikin hati kamu ikut hangat. Nggak semua orang butuh solusi, kadang cuma butuh telinga.

3. Luangin waktu buat diri sendiri
Jalan-jalan sendiri, nonton film kesukaan, atau sekadar rebahan sambil maskeran—itu semua bentuk self-love. Jangan merasa bersalah kalau sesekali kamu lebih milih waktu buat diri sendiri. Kamu butuh itu.

4. Bersyukur, selalu
Nggak gampang memang, apalagi pas lagi capek atau kecewa. Tapi coba, pelan-pelan aja. Bersyukur itu seperti otot, makin dilatih makin kuat. Dengan bersyukur, kita jadi sadar bahwa hidup kita nggak seburuk itu.

5. Kenali dirimu
Gimana bisa cinta kalau nggak kenal? Kenali diri kamu, sifatmu, kelebihan dan kekuranganmu. Terima semuanya. Kamu bukan harus jadi sempurna untuk dicintai—kamu hanya perlu jadi diri sendiri.

6. Nikmati prosesnya
Nggak semua hal harus buru-buru selesai. Kadang justru di proses itu kita belajar banyak. So enjoy it! Bikin kesalahan itu wajar, yang penting kamu belajar dan terus bergerak.

Itu versi aku ya. Kalau kamu punya tips lain buat mencintai diri sendiri, share di kolom komentar juga boleh banget!

Wedges yang dipake kondangan kemarin :D