Senin, 20 Februari 2017

Bayang-bayang

Rega, pria berkacamata yang sejak pertama kali melihat gadis itu, merasa seperti diseret kembali ke masa lalu. Ada yang aneh sejak tatapan pertama—wajah itu tak asing, tapi juga bukan milik orang yang sama. Ia bukan reinkarnasi cinta pertamanya yang telah lebih dulu pergi, namun rupa Meira bagai pinang dibelah dua dengan wanita yang dulu pernah mengisi seluruh relung hatinya.

Hari itu, Rega terpaku. Tubuhnya membeku selama sepuluh menit di depan kelas. Ia seharusnya memperkenalkan diri sebagai guru baru untuk kelas putri, namun matanya tak mampu lepas dari salah satu murid yang duduk rapi di baris tengah. Gadis itu—Meira—membuatnya limbung. Tubuhnya kaku, hatinya lebih lagi.

“Kenapa harus ada seseorang yang begitu mirip dengannya?” gerutu Rega dalam hati. Bukankah katanya, di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki rupa serupa? Tapi mengapa salah satunya harus muncul di hadapannya, kini—di usia belasan, sebagai muridnya sendiri?

Meira masih SMP. Dan Rega tahu, ini adalah ujian. Besar.
Tapi tiap kali ia melihat senyum Meira, matanya menyayat kenangan lama. Luka itu belum sembuh. Meira seolah menjadi cermin yang memantulkan wajah tunangannya yang meninggal tujuh hari sebelum hari bahagia mereka.

Namun Rega tak bisa menipu diri. Ia kalah. Ia kalah oleh ingatannya sendiri, oleh cinta yang belum tuntas. Perhatian yang ia berikan pada Meira mungkin tak pernah ia sadari sebagai bentuk rasa, tapi Meira cukup peka. Ia tahu, ini bukan perhatian biasa.

Meira memang mengagumi Rega—sebagaimana anak seusianya mengagumi guru yang baik, sabar, dan berwibawa. Tapi Meira tahu betul batas antara rasa hormat dan cinta. Ia tahu kapan harus mundur. Ia tahu cinta yang terlalu cepat bisa menjadi luka, bukan pelindung.

Sampai pada akhirnya, Rega memberanikan diri membuka luka itu di hadapan Meira.

"Aku... hanya ingin jujur. Semua ini bermula karena wajahmu, Meira. Tapi seiring waktu... perasaanku bukan tentang dia lagi. Aku ingin sesuatu yang pernah hilang itu kembali mengisi ruang yang kosong di hati ini. Aku mencintaimu, Meira. Mungkin terdengar gila."

Meira menangis. Ia tahu luka Rega dalam, tapi ia pun tahu, hatinya bukan tempat yang tepat.

"Apa menurut Bapak... ini cinta?" ucap Meira lirih, tangisnya menahan getar suara. "Menurut saya, Bapak hanya menjadikan saya bayang-bayang masa lalu Bapak. Karena Bapak... kehilangan."

Rega terdiam. Tak ada sanggahan. Hanya tatapan kosong.

"Kehilangan itu memang menyakitkan, Pak. Tapi kalau kita menjalin hubungan hanya untuk menambal luka... maka kita hanya akan saling menyayat. Saya ingin dicintai karena saya adalah saya, bukan karena saya mengingatkan Bapak pada seseorang."

Meira berdiri, masih menangis. Tapi kali ini bukan karena sedih semata. Ada keberanian di matanya. Ada suara yang baru tumbuh dari gadis yang sedang belajar menjadi dewasa.

"Saya menolak, Pak. Bahkan sebelum Bapak menyatakan perasaan. Karena saya sudah tahu: ini bukan cinta. Ini luka yang menyamar."

Rega tak menyahut. Hanya angin senja yang menyelinap lewat jendela kelas, jadi saksi bisu bahwa cinta kadang datang dalam bentuk yang salah, di waktu yang keliru, kepada sosok yang tak seharusnya.

“Maaf jika saya terkesan sok tahu…” Meira menunduk, suaranya tenang namun mantap. “Saya memang baru anak kelas sembilan, belum tahu banyak tentang jatuh cinta. Tapi, Pak… saya percaya, cinta yang tulus itu bukan tentang apa yang bisa kita dapat. Tapi tentang keinginan untuk membahagiakan, tanpa berharap apa-apa. Cinta yang benar, akan membawa bahagia—bukan karena diminta, tapi karena itu bonus dari ketulusan.”

Rega menatap Meira dengan sorot mata penuh rasa bersalah. Tapi senyumnya tipis, tulus, dan jujur.

“Meira… saya malu. Saya justru belajar ketulusan dari kamu. Sepertinya… saat nanti kamu dewasa, aku akan semakin mengagumimu. Semoga suatu hari kamu menemukan seseorang yang mencintaimu seutuhnya… tanpa bayang-bayang siapa pun.”

“Aamiin. Dan terima kasih, Pak,” sahut Meira, membungkuk sopan lalu beranjak pergi, meninggalkan Rega sendirian di ruang kelas yang mulai diselimuti senja.

Langkah Meira mungkin ringan, tapi dalam hatinya bergaung satu hal yang pasti: ia tidak ingin menerima cinta yang lahir dari kehilangan.

Bagi Meira, cinta sejati adalah apa yang dulu dimiliki Rega bersama almarhumah tunangannya—yang utuh, yang tak berpijak pada masa lalu siapa pun.

Cinta Rega padanya mungkin tumbuh dari luka. Tapi Meira tahu, jika ia menerimanya, ia hanya akan menjadi pelarian. Ia tak ingin dicintai karena wajahnya menyerupai seseorang. Ia tak ingin dijadikan tempat menambal kehilangan.

Karena dicintai hanya sebagai bayang-bayang masa lalu…
tidak akan pernah menyenangkan.
Itu bukan cinta. Itu rindu yang tersesat.

Dan Rega… harus belajar melepaskan sepenuhnya, agar suatu hari, ia bisa benar-benar mencintai dengan hati yang pulih dan jiwa yang merdeka.

Jumat, 17 Februari 2017

Sapaan Pertama di 2017

Hai blogku yang sering terbengkalai, akhirnya kita ketemu lagi!
Ini postingan pertama di tahun 2017—telat banget ya? Boleh dibilang bukan lagi “sapaan awal tahun”, tapi lebih ke “tamu yang baru datang pas acara udah bubar.” Hehe, malu banget. 🙈

Sebenernya, udah beberapa kali niat buka blog, buka dashboard, bahkan sempat ngetik dua kalimat… tapi ya gitu. Selalu ada aja yang bikin akhirnya tutup tab dan bilang, “nanti aja deh.” Dan ternyata “nanti aja” itu berlangsung lama banget. Huhu. Maaf ya blogku, pemilikmu ini belum jadi manusia paling produktif di bumi.

Kebetulan sekarang lagi agak longgar karena baru selesai final semester. Jadi, liburannya bisa dimanfaatkan buat recharge otak—dan finally sempat mampir ke sini lagi. Meskipun ini udah tanggal 17 Februari, tetap mau bilang:

Selamat Tahun Baru 2017! 🎉
Semoga tahun ini membawa lebih banyak cerita seru, pelajaran hidup, dan pencapaian yang bikin hati bahagia.
Dan buat kamu (dan aku juga), semoga resolusi-resolusi yang belum sempat terwujud di 2016 bisa tercapai di 2017. Aamiin!

Tahun ini, aku pengen lebih sering cerita di sini. Nggak harus yang berat-berat, cukup hal-hal kecil yang bikin hati hangat. Toh, aku nulis bukan buat dilihat banyak orang, tapi lebih ke dokumentasi kecil-kecilan tentang hidupku. Kalau ada yang baca dan bisa relate, itu bonus. 😊

Yuk semangat, 2017. Kita isi dengan kebaikan, kejutan, dan cerita baru.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya!