Aku heran.
Sudah seminggu sejak kepergian Ibu, tapi kakak-kakakku seolah tak lagi menganggapku ada. Tak ada pelukan, tak ada sapaan, tak ada tempat di antara mereka.
Apa karena aku terlalu histeris saat Ibu meninggal? Tapi, bukankah itu wajar? Aku ini anak bungsu, baru lima belas tahun. Setelah sepuluh tahun lalu Ayah meninggalkan kami, mengapa Ibu harus menyusul juga?
Kakak-kakakku kini sibuk dengan dunianya masing-masing. Tapi mengapa harus aku yang ditinggalkan sendirian begini?
Padahal aku lihat sendiri, Kak Rina bahkan sempat pingsan waktu tahu Ibu sudah tiada.
Tapi sekarang?
Aku mencoba bicara, tak dihiraukan.
Aku melempar gelas di dapur, berharap mereka menoleh. Tapi yang kudapat hanya teriakan dan mereka lari ketakutan.
Aku memanggil Kak Kinan... tapi dia malah menjerit.
“Jangan ganggu Kakak, Dik!”
Aku tidak gila! Aku cuma... ingin didengar.
Setiap malam aku menangis. Kadang di teras, kadang di depan kamar mereka, kadang sendirian di pojok ruang tamu.
Aku tahu kamar mereka sempit, tapi kenapa tak ada satu pun dari mereka yang mengajakku tidur bersama? Padahal aku juga perempuan. Adik mereka. Tapi tiap aku masuk, mereka hanya bilang, "Panas... panas..."
Akhirnya aku menyerah. Malam itu aku masuk ke kamar mereka saat mereka tertidur.
Kupanggil nama satu-satu, melayang di atas mereka.
Mereka terbangun, menatapku, lalu menjerit histeris.
Kak Dila gemetar. Air matanya jatuh tak terkendali.
> “Cukup, En... cukup! Jangan terus menghantui kami! Kami tahu kamu belum tenang... setelah kamu memutuskan menggantung diri di depan rumah!”
Aku tertawa pelan. “Hi hi hi...”
Aku menyusul Ayah dan Ibu, Kak.
Tapi... sepertinya tempatku dengan mereka berbeda.