Rabu, 18 Februari 2015

Disenggol Masa Lalu

Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti melepaskan beban yang selama ini kupeluk diam-diam. Baru saja, aku membuka email dan menemukan kabar yang langsung membuatku berdiri dari tempat duduk.

Cerpenku diterbitkan!

Cerpen yang kutulis penuh harap dan kukirim sebulan lalu ke salah satu majalah ternama, akhirnya benar-benar dimuat. Tapi bukan itu saja — aku juga diundang sebagai salah satu pembicara dalam seminar literasi di Surabaya. Dan bukan seminar biasa, karena aku akan tampil bersama penulis-penulis yang selama ini hanya bisa kupandang dari jauh. Rasanya… campur aduk: senang, bingung, terharu, teriak dalam hati.

Kenapa baru sekarang aku buka email-nya? Entahlah. Padahal aku menunggu-nunggu kabar ini dari awal bulan. Tapi setidaknya belum terlambat — mereka meminta konfirmasi maksimal hari ini. Dan ini bukan hanya soal kebahagiaan… ini tentang pencapaian pertamaku yang sesungguhnya. Bukan tentang berapa besar honornya, tapi tentang langkah kecil yang mulai membuka jalan menuju mimpiku sebagai penulis.

Rasanya ingin cepat-cepat pulang sekolah dan membagi kabar ini ke Mama.


---

Begitu bel pulang berbunyi, aku bergegas keluar kelas. Tidak seperti biasanya, langkah kakiku ringan dan cepat menuju mobil. Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Mama dengan suara paling riang yang bisa kubuat.

“Mamaaaah?”

Dari dapur terdengar suara Mama yang setengah bingung, “Ada apa, Kinar? Heboh banget dari tadi manggil-manggil Mama.”

“Ma, aku punya kabar gembiraaa banget! Mama mau tau?”

Mama menatapku penasaran. “Kabar apa memangnya?”

“Jadi gini, Ma. Mama inget kan waktu aku bilang aku ngirim cerpen ke salah satu majalah? Nah, cerpen Kinar keterima, Ma! Bahkan Kinar diundang buat isi seminar bareng penulis-penulis keren di Surabaya!”

Mama langsung memelukku. Senyumnya lebar dan matanya berbinar bangga.

“Alhamdulillah... Subhanallah, Kinar. MasyaAllah! Terus, kamu berangkatnya kapan?”

“Besok, Ma. Gimana, Mama izinin nggak?”

“Kok mendadak banget?”

“Sebenernya bukan undangannya yang mendadak. Tapi aku baru ngecek email tadi. Aku telat banget bacanya, dan konfirmasinya paling lambat hari ini.”

Mama menggeleng sambil tersenyum geli. “Kinaar, Kinaar… apa gunanya punya HP kalau nggak buat cek hal sepenting ini?”

Aku nyengir, “Iya, ya, Ma. Nanti malam aku telpon Papa, ya?”

Dan malam itu, setelah diskusi panjang dan bujuk rayu yang cukup manis lewat telepon, Papa akhirnya mengizinkanku pergi. Aku langsung memeluk Mama.

“Jadi gimana, Ma? Mama juga izinin, kan?”

Mama tersenyum hangat. “Iya, sayang. Mama izinin. Asal kamu jaga diri baik-baik, jangan lupa ibadah, dan kabarin Mama terus.”

“Siap, Ma!”


---

Malam itu aku sibuk bukan main. Packing koper, ngecek ulang semua barang, memastikan nggak ada yang tertinggal — mulai dari baju, notes, kartu identitas, hingga salinan cerpen yang sudah dimuat. Rasa gugup dan antusias bercampur jadi satu. Ini bukan cuma perjalanan ke luar kota, ini adalah langkah pertama dari mimpiku yang perlahan jadi nyata.

Pagi harinya, Mama mengantarku ke bandara. Kami tidak banyak bicara selama perjalanan, tapi genggaman tangannya hangat dan menenangkan. Sesampainya di ruang keberangkatan, Mama memelukku erat. Meski cuma dua hari, rasanya seperti kami akan berpisah sangat lama.

Aku mencium tangan Mama sebelum masuk ke ruang check-in. Aku melambaikan tangan sambil menahan senyum dan semangat yang hampir meledak. Setelah antre, aku duduk di ruang tunggu, menatap keluar jendela kaca menuju landasan pacu.

Ini dia. Aku benar-benar akan pergi ke Surabaya. Sendiri. Untuk sebuah misi kecil yang kuanggap besar. Untuk membagikan cerita. Untuk bertemu para panutanku. Dan untuk mengenalkan diriku — bahwa ada seorang gadis bernama Kinar yang percaya bahwa tulisan bisa mengubah banyak hal.

Aku memejamkan mata sejenak.

“Bismillah,” bisikku dalam hati.

Aku siap.

---

Sesampainya di Surabaya, aku langsung disambut para panitia seminar yang begitu ramah. Mereka menyapaku dengan hangat, seolah sudah mengenalku sejak lama. Salah satu dari mereka memintaku menunggu sejenak sebelum kami bersama-sama diantar ke penginapan.

Di dalam mobil, perbincangan kami mengalir ringan namun penuh makna. Kami membicarakan teknis seminar besok, alur acara, dan sedikit soal penulis-penulis yang akan hadir. Rasanya aku seperti sedang memasuki dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan — dunia literasi yang nyata, hidup, dan penuh semangat.


---

Keesokan harinya, tibalah saatnya seminar dimulai. Jantungku berdegup kencang, tapi lebih karena bahagia daripada gugup. Aku berdiri di depan ratusan pasang mata yang siap mendengarkan. Dan saat aku mulai berbicara, semua keraguan sirna. Aku merasa... inilah tempatku.

Setelah sesi selesai, beberapa peserta menghampiriku. Mereka bilang mereka suka caraku bercerita. Beberapa bahkan memintaku untuk segera menerbitkan buku. Aku tersenyum dan menjawab sejujurnya, “Akan aku usahakan secepat mungkin.”

Hari itu aku belajar banyak. Aku bertemu banyak penulis, mendengar cerita-cerita perjalanan mereka, dan meresapi betapa indahnya berbagi lewat tulisan. Dua hari di Surabaya yang singkat tapi membekas dalam — tak mungkin aku lupakan. Bahkan, aku dan beberapa panitia kini cukup akrab, seperti teman lama yang baru dipertemukan.


---

Hari ini, aku kembali ke Bandung.

Tapi... ternyata tidak semua hal bisa kutebak.

Sesampainya di bandara, Mama belum datang. Aku memang lupa mengabari akan tiba lebih cepat. Sambil menunggu, aku berdiri tak jauh dari pintu keluar, lalu… aku melihat sosok itu.

Seseorang yang tidak kujumpai selama empat tahun. Seorang pria. Berkacamata, dengan sorot mata yang dulu pernah begitu kukenal. Pria yang dulu... kupikir akan jadi rumah.

Degup jantungku langsung berubah ritmenya. Napasku terasa sesak. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu, ke masa di mana aku adalah versi diriku yang paling patah.

Padahal aku yakin sudah mengikhlaskannya. Bahkan aku sudah tidak menyebut namanya di doaku sejak lama. Tapi nyatanya… tubuhku masih ingat. Ingat akan rasa kecewa itu. Ingat akan luka yang tertinggal begitu lama.

Ah, bodohnya aku.

Kenapa aku harus disenggol masa lalu di hari yang seharusnya hanya penuh syukur ini?

Bukan, bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena rasa sakit itu belum sepenuhnya sembuh. Karena dia pernah menjadikanku pelarian. Karena aku pernah percaya, hanya untuk akhirnya ditinggal tanpa arah.

Lucu ya, saat aku pikir semuanya telah pulih, aku masih menyimpan puisi-puisi darinya. Bukan—mungkin bukan untukku puisi itu, melainkan untuk perempuan lain yang tidak pernah aku kenal. Tapi sudahlah. Aku akan segera membuang semuanya begitu sampai di rumah.

Aku tak berani menyapanya. Aku bahkan tak berani menatap lama-lama. Tapi aku tahu dia melihatku. Kami saling diam. Dan diam itu lebih nyaring dari ribuan kata yang pernah kami tukar dulu.

Tapi aku tahu satu hal: aku sudah bahagia sekarang.

Cinta yang sekarang kumiliki jauh lebih tenang. Lebih lembut. Lebih jujur. Aku tahu pria yang bersamaku sekarang mencintaiku karena siapa aku, bukan karena luka lamanya yang ingin ia tambal. Dan aku… sangat merindukannya hari ini.

Sesampainya di rumah nanti, aku akan menghubunginya. Mengundangnya makan malam, mengobrol banyak hal seperti biasa, dan mengatakan padanya — terima kasih karena hadir setelah badai reda.

Banyak rencanaku saat sampai di rumah nanti, seperti biasa. Tapi yang paling utama… aku hanya ingin segera memeluk Mama. Rumah paling aman yang tak pernah menyakitiku.

Dan mungkin, setelah semuanya tenang, aku akan menulis tentang ini. Tentang perasaan yang datang dan pergi sesuka hati. Tentang luka lama yang tak apa-apa sesekali menyapa. Tentang gadis yang belajar berdamai, lalu memilih pulang — kepada dirinya sendiri.