Pria itu memperhatikanku. Dari tadi. Sejak aku pertama kali melangkah masuk ke toko buku di mall ini, tatapannya tak lepas dari arahku. Aku mulai merasa gelisah. Ada apa sebenarnya? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Atau... dia mengenalku?
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Tapi... aku tidak mengenalnya. Wajahnya asing. Tatapannya tidak. Aneh, tapi terasa familiar.
Tapi sekarang—ke mana pria itu? Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Hilang. Raib. Seolah disapu angin. Hanya menyisakan rasa penasaran yang mengendap di dada.
Aku menghela napas pelan, berusaha kembali fokus pada misiku hari ini: mencari kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono. Aku mencintai karya-karyanya. Mungkin karena ia, seperti aku, tampaknya punya hubungan khusus dengan hujan. Banyak puisinya yang menuliskan rintik dengan cara yang tak biasa, seolah hujan itu hidup dan punya cerita sendiri.
Tiba-tiba—
“Ini yang sedang kamu cari?” sebuah suara mengejutkanku dari belakang.
Aku berbalik. Dan di sana dia berdiri, si pria misterius.
“Dari mana Mas tahu aku lagi cari buku ini?” tanyaku spontan.
“Aku penggemarmu, Gea,” ucapnya tenang, dengan senyum yang sulit dibaca.
“Penggemar?” alisku terangkat. “Aku makin nggak ngerti.”
“Kamu blogger, kan?” katanya yakin. “Aku pecinta tulisanmu. Aku baca blog kamu. Kamu sempat nulis tentang ingin beli buku ini.”
Mataku membulat. “Serius?”
“Iya, ini buat kamu.” Ia menyodorkan buku yang sejak tadi kucari.
“Terima kasih... Mas. Kok bisa kamu yang nemuin? Aku udah muter-muter dari tadi.”
“Iseng aja sih nyari di rak sastra. Eh, nemu.”
Aku mengambil buku itu, menatapnya sebentar sebelum berkata, “Sekali lagi, makasih banyak.”
“Sama-sama. Oh iya, kenalin, aku Faris.”
“Iya, Mas Faris. Salam kenal.”
“Salam kenal juga. Karena aku udah bantu kamu nyari buku ini… boleh nggak aku ajak kamu makan siang bareng? Di mall ini juga kok.”
Aku tertawa kecil. “Yaudah, boleh. Tapi aku bayar buku ini dulu ya.”
“Deal.”
---
Di Restoran Favorit Faris
“Udah, Mas. Mau makan di mana?” tanyaku setelah kembali dari kasir.
“Restoran favoritku. Ada di lantai dua.”
“Boleh!”
Beberapa menit kemudian, kami duduk berhadapan di meja dekat jendela kaca. Cahaya siang menyelinap hangat ke dalam ruangan.
“Kamu mau pesen apa?” tanyanya sambil menyodorkan buku menu.
“Aku ngikut kamu aja deh. Pasti kamu udah biasa makan di sini.”
“Haha, jangan gitu dong. Tetep harus baca menunya, siapa tau selera kita beda.”
“Aku percaya selera kamu halal dan enak,” jawabku santai.
Faris tertawa kecil sebelum memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah itu, ia kembali menatapku dengan sorot yang serius.
“Gea, aku penasaran. Apa sih yang bikin kamu suka banget sama puisinya Sapardi?”
“Aku selalu merasa... puisinya punya nyawa. Setiap baitnya tuh menyentuh, sederhana tapi dalam. Kayak kamu dibawa tenggelam dalam suasana, tanpa sadar.”
“Wah... kamu beneran penyair dalam bentuk blogger ya,” katanya terkagum.
Aku tersenyum. “Dulu aku pengen banget masuk fakultas sastra, tapi orang tua lebih mendukung aku ke ekonomi. Jadi ya aku ikutin. Tapi menulis tetap jadi tempat pulangku.”
“Keren. Nggak cuma tulisan kamu yang inspiratif, kamu sendiri juga.”
“Ehh... jangan berlebihan, Mas,” jawabku malu-malu.
“Hehe.”
“Permisi, ini pesanannya,” kata pelayan sambil meletakkan dua piring di meja.
“Makasih, Mbak,” jawab kami hampir bersamaan.
---
Setelah Makan
“Mas, makasih banyak ya, udah ditraktir. Jadi nggak enak, baru ketemu udah dibantuin nyari buku, sekarang makan bareng pula.”
“Aku justru seneng banget bisa ketemu langsung sama kamu. Bersyukur kamu bukan blogger misterius yang nggak bisa dilacak,” katanya sambil terkekeh.
“Haha. Syukurnya aku nggak pakai nama samaran ya.”
“Boleh minta nomor dan pin kamu nggak? Biar bisa ngobrol lebih sering.”
“Boleh. Nih, catet ya…”
Setelah saling bertukar kontak, aku bangkit dari kursi.
“Kayaknya pertemuan kita hari ini cukup sampai sini ya, Mas.”
“Baiklah, Gea. Tapi aku harap ini bukan pertemuan terakhir.”
“Aku juga,” jawabku, tersenyum tipis.
“Bye, Gea.”
“Bye, Mas Faris.”
Aku melangkah pergi, membawa pulang buku yang kucari dan cerita yang tak pernah kuduga.
---
Ternyata harapan Mas Faris waktu itu terkabul. Pertemuan kami di toko buku bukan yang terakhir. Justru sejak hari itu, pertemuan demi pertemuan terasa seperti kebetulan yang menyenangkan.
Siapa sangka, ternyata dia juga kuliah di kampus yang sama denganku. Kami hanya beda fakultas.
“Mas, kok kamu nggak bilang kalau ternyata kamu juga kuliah di sini?” tanyaku saat kami bertemu di kantin kampus.
Faris tersenyum nakal. “Kejutan dong, Gea. Masa kamu bisa sampai nggak tahu aku juga mahasiswa di sini?”
“Mahasiswa di sini ada ribuan, Mas. Mana bisa aku tahu satu-satu,” jawabku sambil nyengir.
“Hahaha, Gea Gea!”
“Lucu ya?”
“Biasa aja sih,” balasnya, terkekeh. Lalu ia menatapku dengan pandangan yang berbeda—lebih tenang, lebih dalam.
“Oh iya, Gea. Aku mau ngomong sesuatu.”
“Apa, Mas?”
“Aku suka sama kamu.”
Aku terdiam. Tak menyangka pernyataan itu meluncur begitu cepat.
“Beneran, Mas?” tanyaku pelan.
“Iya, aku serius. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?”
Aku menunduk sejenak, berusaha menenangkan degup jantungku. “Sebenernya... aku juga suka sama Mas, dari awal kita ketemu di toko buku.”
“Serius?”
Aku mengangguk pelan. “Jadi... aku mau.”
Faris spontan bersorak kecil, “Yeaay!”—suaranya membaur dengan hiruk-pikuk kantin siang itu. Saat itu, semuanya terasa ringan. Dunia seolah mengizinkan kami saling jatuh cinta.
---
Awalnya, aku pikir Mas Faris adalah laki-laki yang Tuhan kirim untuk menyembuhkan luka-luka lama yang masih tersisa. Ia datang di waktu yang tepat, dengan perhatian yang lembut, dan kata-kata yang membuatku merasa layak dicintai.
Setiap pagi, aku bangun dengan notifikasi pesan darinya: "Selamat pagi Gea, semangat kuliahnya ya. Jangan lupa sarapan."
Sesederhana itu, tapi cukup membuatku merasa dibutuhkan.
Kita sering makan siang bareng di kantin fakultas, kadang dia menjemputku setelah kelas. Kami bertukar cerita, saling mengenal, saling belajar mencintai. Di titik itu, aku merasa seperti tokoh utama dalam cerita cinta yang selama ini hanya bisa kubaca di novel.
Tapi aku salah.
Lambat laun, semuanya mulai berubah.
Pesan-pesan paginya tak lagi rutin. Ia bilang sibuk, banyak tugas, dosen killer, rapat organisasi. Aku percaya. Tapi ketika aku melihat story teman satu fakultasnya yang memperlihatkan dia nongkrong di kafe bersama teman-teman wanitanya, aku mulai ragu.
"Kamu nggak bilang ada acara sore ini?"
"Oh, itu dadakan, aku juga nggak enak nolak."
Selalu begitu. Selalu dadakan. Selalu lupa memberi kabar.
Dan aku tetap bertahan.
Puncaknya adalah malam itu. Aku sedang sakit, demam tinggi, dan sendirian di kamar kos. Aku hanya ingin dia datang, atau minimal menelpon. Tapi dia menghilang. Besok paginya, dia bilang HP-nya mati, padahal aku melihat fotonya semalam—di sebuah konser, tertawa lepas dengan seseorang yang bahkan tak pernah dia kenalkan padaku.
Itu pertama kalinya aku menangis karena merasa benar-benar sendirian... dalam hubungan yang katanya serius.
Aku tak langsung memutuskan pergi. Aku memberi waktu. Aku memberi ruang. Tapi ternyata, semakin aku bertahan, semakin aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku mulai mempertanyakan apa aku terlalu posesif? Terlalu sensitif? Tapi nyatanya, aku hanya terlalu mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar melihatku.
---
Hari itu aku menemuinya, bukan untuk marah, tapi untuk berpamitan.
"Mas, apa kamu sadar akhir-akhir ini aku lebih sering menangis daripada tertawa?"
Dia terdiam.
"Aku bukan marah, aku cuma sedih. Karena kita nggak lagi ada di titik yang sama. Kamu udah jauh duluan, aku terus ngejar, sampai akhirnya aku capek sendiri."
"Gea, jangan gitu dong…"
"Aku nggak apa-apa, Mas. Sungguh. Aku cuma nggak mau bertahan di hubungan yang bikin aku kehilangan harga diriku sendiri. Cinta nggak seharusnya bikin orang merasa kecil, ‘kan?"
Dia berusaha menggapai tanganku, tapi kali ini aku yang mundur. Aku sudah memutuskan.
"Terima kasih ya, udah pernah jadi rumah. Tapi aku mau pulang ke diriku sendiri sekarang."
---
Sejak malam itu, setelah aku memilih untuk mengakhiri semuanya, aku merasa seperti sedang melangkah sambil membawa separuh diriku yang luka.
Tapi hari demi hari berlalu, dan aku mulai mengenal Gea yang baru—yang tak lagi menunggu pesan masuk saat subuh, tak lagi mencemaskan siapa yang duduk di sebelah Faris hari ini, dan tak lagi menyalahkan diri sendiri atas cinta yang gagal.
Aku belajar menikmati kopi tanpa terburu-buru membalas chat. Aku kembali menulis puisi, kembali membaca buku tanpa harus menyisipkan harapan di antara halaman-halamannya. Aku bahkan mulai tertawa lebih lepas—tanpa takut ada yang bilang aku berlebihan.
Sampai akhirnya, dia datang lagi.
Dengan gaya bicara yang sama. Tatapan mata yang sama. Dan kalimat-kalimat yang dulu pernah membuatku luluh.
"Gea, kabarmu gimana?"
"Gea, aku kangen."
"Gea, kita bisa mulai dari awal kalau kamu mau."
Tapi aku tidak lagi menjadi Gea yang sama seperti dulu.
"Mas, kamu datang setelah semuanya selesai," jawabku tenang. "Kamu datang ketika aku sudah tidak lagi memohon untuk dipilih. Ketika aku sudah menyembuhkan lukaku sendiri."
Dia menatapku lama. Seolah tak percaya aku bisa berdiri setegak itu di hadapannya.
"Jangan gitu, Gea. Aku berubah. Aku sadar, aku salah ninggalin kamu kayak dulu."
Aku menarik napas pelan.
"Mas Faris, kamu tahu nggak kenapa aku ninggalin kamu waktu itu? Bukan karena aku nggak sayang. Tapi karena aku harus nyelametin diriku sendiri dari cinta yang bikin aku terus menerus mempertanyakan harga diriku."
Dia diam.
"Aku tahu kamu mungkin baru sadar sekarang. Tapi, aku juga udah sadar—kalau cinta yang baik, seharusnya nggak bikin orang ngerasa ditinggal walau dia punya pacar."
"Gea..."
"Aku nggak marah, Mas. Aku cuma... selesai."
Aku tersenyum. Kali ini bukan senyum pura-pura yang kutunjukkan untuk menutupi luka. Ini senyum tulus dari hati yang sudah memaafkan.
Lalu dengan suara paling lembut yang bisa kukumpulkan dari seluruh luka dan cinta yang pernah kujalani, aku berkata:
“Pergilah.”